Sunan Gunung Djati, Seorang Raja dan Mursyid Tarekat
SUNANGUNUNGDJATI.COM - Sunan Gunung Djati adalah seorang yang memilliki otoritas ganda. Pada satu sisi, sebagai kepala pemerintahan ia adalah seorang ulil amri. Sementara pada sisi lain, beliau adalah seorang yang memiliki kompetensi sempurna pada posisi spiritual sebagai mursyid tarekat. Jarang sekali seseorang memiliki kedudukan ganda seperti itu.
Sering kali terjadi, bahwa seorang kepala pemeritahan, adalah pengatur urusan duniawi, serta tidak memiliki otoritas spiritual. Dia menjadi pengatur hal-ihwal masalah yang melulu terkait dengan hukum ketatanegaran untuk mengatur masalah kewajiban serta hak rakyatnya.
Sementara itu, seseorang yang memiliki otoritas spiritual, seringkali ia menjadi medium bagi mengalirnya emanasi barokah antara manusia dengan Sang Ilahi, tanpa dibarengi dengan wewenang untuk mengatur urusan-urusan duniawi dalam posisi sebagai kepala pemerintahan. Tetapi pada Sunan Gunung Djati, dua posisi itu menyatu sekaligus pada satu pribadi sehingga dirinya menjadi pigur pemimpin yang benar-benar lengkap. Transenden serta imanen sekaligus.
Di dalam rangkaian Silsilah Gunung Jati (Basyari, 1989:36-38), setelah membaca surat Al-Fâtihah terhadap Nabi, empat sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, serta Ali serta juga sahabat-sahabat lain, kepada Syaikh Abdul Qâdir Al-Jailanî serta ahli sufi yang lain, kemudian pengiriman surat Al-Fâtihah juga adalah untuk beliau yang tertulis “Sayyidinâ wa Maulânâ Sulthânil Awliyâ Syaikh Syarif Hidayatillâh Sulthânil Mahmûd” serta ahli silsilah lain yang ada di Gunung Sembung serta Gunung Jati.
Dari Silsilah Gunung Jati, kedudukan yang tinggi dari Syaikh Syarif Hidayatullah, adalah sebagai “Sulthânil Awliyâ” serta gelar tersebut disematkan terutama ahli Silsilah Gunung Jati yang lebih dulu disebut, Syaikh Abdul Qadîr Al-Jailanî. Jadi penyematan kata “Sulthânil Awliyâ” yang menunjukkan “maqâmat” rohani sangat tinggi itu adalah untuk Syaikh Abdul Qâdir Al-Jailanî dari wilayah maghrib/barat serta berada di Bagdad, serta untuk Sunan Gunung Djati yang berada di wilayah masyrik/timur serta berada di wilayah Caruban Nagari.
Dalam sistem pemerintahan Kerajaan Cirebon seperti ditulis dalam kutipan Hernawan serta Kusdiana terhadap Nina Herlina Lubis, sultan atau susuhunan/sunan memiliki kekuasaan tertinggi dalam wilayah yurisdiksinya. Dalam tradisi Jawa biasanya mendapatkan gelar senapati ing alaga yang memberi kesan, bahwa angkatan perang (militer tradisional) diterapkan dalam penyelenggaraaan negara.
Di samping itu, raja juga mendapat julukan sebagai wakil Tuhan di dunia dengan gelar sayyidin panatagama. Sebagai senapati ing alaga dan sayyidin panatagama yang bergelar susuhunan atau sunan, Syarif Hidayatullah juga mendapat gelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Djati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubiz-Zaman Khalifatur Rasûlullâh Saw. (Hernawan & Ading Kusdiana, 2020:175).
Jika gelar “Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Djati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubiz-Zaman Khalifatur Rasûlullâh Saw” kita urai maknanya, maka “Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Djati Purba” atau Syaikh Syarif Hidayatullah adalah “panetep Panatagama” yang diakui oleh Wali Songo Jawadwipa untuk seluruh wilayah Sunda (Sulendraningrat, 1984:35), yang memiliki maqâmat rohani sebagai “Awlya Allah Kutubiz-Zaman” atau ‘wali Kutub’ pada zamannya, seseorang yang menjadi ‘poros zaman’ serta menghimpun seluruh ahwâl dan maqâm rohani, serta hanya ada satu di setiap zaman serta menjadi tuan pada zamannya (Al-‘Arabi, 2018:17).
Posisi Wali Kutub, bahkan mendapat legitimasi dan wewenang penugasan dari Rasûlullâh Saw, dalam sebuah puncak pencapaian pengalaman pertemuan Nabi dengan salah seorang dzuriatnya tersebut dalam sebuah peristiwa Mikraj Rohani:
Aku beri anda gelar Insan Kamil, menjabat sebagai Wali Kutub sebagai Wakil mutlakku. Tidak ada Nabi ya adanya Wali Kutub, tidak adanya aku ya adanya anda, bahkan tidak ada wujud dua, dan anda gelarkanlah agama Islam, rukunnya lima perkara, rukunya lima perkara: sahadat, shalat,puasa, zakat, naik haji bagi orang yang kuasa di jalannya dan patuhilah apa yang tersebut dalam Alquran, dan ingatlah anda janganlah mengunggul-ungguli, sesuatu tanpa amal kebajikan, dan bergurulah anda apa adat biasa di dunia, yang benar lakunya, nastiti hati-hati yang sejatinya (Sulendraningrat, 1984:27).
Sunan Gunung Djati adalah seorang Wali Kutub yang emanasi barakah kewaliannya, barasal dari Ayah Pertama. Pengertian Ayah Pertama ini, adalah ayah pertama yang terlahir darinya bekasan-bekasan (al-âsâr) atau segala sesuatu yang dilahirkan. Jika kita berbicara tentang jasmani manusia, asal awal yang melahirkannya adalah Nabi Adam as., maka Nabi Adam as. adalah Ayah Pertama tubuh jasmani manusia. Tetapi jika kita berbicara sisi-sisi rohani, maka Hakikat Muhammadiyyah adalah Ayah Pertama dan juga menjadi ayah bagi Nabi Adam as. dan seluruh alam semesta. Hakikat Muhammadiyyah ini adalah Ruh Universal (Ar-Rûh Al-Kullî), Akal Pertama (Al-‘Aql Awwal), dan Akal Terbesar (Al-‘Aql Akbâr). Nur-nur para kutub keluar dari Ayah Pertama, yang menyerupai matahari, mereka beredar di orbit maqâmat.
Dari Ayah Pertama juga keluar para Nujaba’—Para Bangsawan yang terdiri dari delapan orang pada setiap zamannya, tidak kurang dan tidak lebih—yang menyerupai bintang-bintang, mereka beredar di orbit-orbit karamah. Lalu dia mengangkat Empat Awtâd—Para Pasak, yang terdiri dari empat orang untuk setiap zamannya, tidak kurang dan tidak lebih, serta Allah Swt menjaga melalui masing-masing Watad wilayah barat, timur, utara, selatan, sesuai dengan sisi-sisi Ka’bah—untuk keempat sudut, sehingga melalui mereka akan terjaga dua Makhluk Berat (As-Saqalân=manusia dan jin). Keempat pasak itu menghilangkan getaran dan goncangan bumi, dan membuatnya menjadi tenang (Al-‘Arabi, 2018:17).
Dilihat dari sisi kerajaan rohani, posisi Sunan Gunung Djati sebagai Wali Kutub pada zamannya, berada pada posisi tertinggi dari hirarki para awlia serta menjadi standar kewajaran kalau kemudian dirinya juga adalah Mursyid Tarekat. Sunan Gunung Djati adalah seorang mursyid tarekat. Mursyid adalah istilah atau sebutan Syaikh dalam suatu tarekat. Istilah mursyid ini mempunyai arti guru, yakni guru yang mengajarkan suatu tarekat tertentu kepada murid-muridnya yang sedang menuntut ilmu dalam suatu tarekat. Guru atau mursyid dalam sistem tasawuf adalah asrâfu an-nasi fî at-thariqoh artinya orang yang paling tinggi martabatnya dalam suatu tarekat. Mursyid mengajarkan bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah sekaligus memberikan contoh bagaimana ibadah yang benar secara syari’at dan hakikat (Pratama, 2018:61-62)
Sunan Gunung Djati adalah seorang mursyid dalam arti bahwa ia adalah adalah seseorang dengan kedudukan tertinggi di dalam tarekat. Dia tidak hanya berposisi sebagai kepala pemerintahan, tapi juga seorang mursyid tarekat yang memberi bimbingan rohani terhadap murid-muridnya. Tanggung-jawab untuk memikul dua di wilayah imanen serta transenden, pasti bukanlah sesuatu yang sederhana. Sebagai pemimpin negara, pasti ia memiliki otoritas serta kualifikasi untuk menjadi pemimpin bagi rakyatnya. Tak kalah beratnya dari posisi sebagai seorang raja, dengan kualifikasi keilmuan sangat tinggi, pencapaian makrifat untuk membimbing para murid mencapai tahapan “arif billâh”, kemampuan menjaga hal-hal “sirrullâh”, serta berbagai prasyarat lain, posisi kemursyidan hanya menjadi hak bagi kalangan-kalangan khas yang benar-benar terpilih oleh Allah Swt. KH. Zamzami Amin di dalam Tarekat Al-Babakani, telah menuliskan terkait beratnya posisi seorang mursyid.
Oleh karenanya seorang mursyid itu harus memiliki kriteria-kriteria dan adab-adab sebagai berikut : alim, arif dengan segala sifat kesempurnaan hati, bersifat belas kasih terhadap semua orang Islam, terutama mereka yang menjadi muridnya, pandai menyimpan rahasia para muridnya, tidak menyalah gunakan amanah para muridnya, tidak menggunakan harta benda mereka dalam bentuk dan kesempatan apapun dan juga tidak menginginkan apa yang ada pada mereka, tidak sekali-kali menyuruh para muridnya dengan suatu perbuatan kecuali jika yang demikian itu layak dan pantas dilakukan oleh dirinya sendiri, dan berbagai kriteria lain yang positif (Amin, 2020:159-154).
Seorang mursyid adalah guru rohani dalam sebuah tarekat, serta memiliki kedudukan paling tinggi di dalam membimbing kehidupan murid-muridnya. Terkait pengertian tarekat sendiri adalah adalah metode atau “cara”. Menurut Al-Huzwiri, pengarang kitab “Kasyf al-Mahjûb”, seperti ditulis di dalam “Muhyiddin Ibnu Arabi, Pustaka Keraton Cirebon, Pembuka Rumus dan Kunci Perbendaharaan” (Irianto, 2013:444-445) adalah media dan cara yang dalam melaksanakan syariat (jalan besar) dan tharîq (jalan kecil) yang menyampaikan pelaku tasawuf ke terminal hakikat.
“Dan bahwa, (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia;dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan agar kamu bertakwa (QS. Al-An’âm [6]:153).
“Dan bahwasannya, jikalau mereka tetap berjalan lurus di jalan itu (agama Islam), benar-benar kami akan memberi minum kepada mereka dengan air yang segar (QS. Al-Jin [72]:16).
Jalan lurus dalam dua ayat dari dua surat ini dimaknai sebagai ‘tarekat’. Sedangkan terkait dengan kata ‘murid’ di dalam tarekat yang berada dalam asuhan rohani seorang ‘mursyid’ adalah seseorang yang rindu terhadap Allah. Murid adalah orang yang memurnikan kehendak.
Berkata Al-Syaikh Muhyiddin Al-‘Arabi—semoga Allah mengkuduskan sir-nya dalam Kitab Al-Futûhat Al-Makiyyah seperti dalam kutipan Irianto (2013:433): “Murid adalah orang yang memutuskan dirinya kepada Allah Swt dari memandang, memperhatikan, dan melepaskan dari kehendak dirinya. Saat dia mengerti bahwa sesunguhnya tidak akan terjadi dalam kenyataan wujud selain sesuatu yang telah Allah Swt kehendaki, bukan sesuatu yang dikehendaki oleh selain-Nya, maka dia meleburkan kehendak dirinya ke dalam kehendak-Nya.” Murid adalah orang yang menghendaki wushûl, sampai kepada Allah Swt dengan cara berdzikir dan mengabadikannya (Irianto:2013:433).
Dalam wawancara penulis dengan KH. Zamzami Amin (17 November 2021), Syaikh Syarif Hidayatullah adalah Mursyid Tarekat Syatariyah, serta sejumlah tarekat lain. Bahkan dari apa yang disampaikan KH. Muhammad Kosim di Gunung Jati terhadap KH. Zamzami Amin, Syaikh Syarif Hidayatullah memegang 13 sanad tarekat, dan itu diamalkan semua. Dalam catatan Bruinessen (1999:225) hipotesis paling sederhana yang menerangkan rujukan-rujukan kepada Tarekat Syattariyah, Naqsyabandiyah serta Kubrawiyah seperti tertulis dalam Sejarah Banten Rante-Rante (SBR), serta Babad Cirebon yang dibicarakan sejauh ini adalah bahwa lingkungan istana, pada abad ke-17, sudah berkenalan dengan tarekat ini, bahkan dalam SBR, sebagaimana telah dikatakan di atas, menyebutkan 27 nama yang dikatakan bersama-sama dengan Sunan Gunung Djati, belajar langsung kepada Najmuddin Al-Kubra di Makkah.
Narasi bahwa Sunan Gunung Djati mendapatkan transmisi spiritual sebagai murid Syaikh Ibn Atha’illah As-Sakandarî saat belajar di Madinah, memberi petunjuk bahwa dirinya adalah penganut tarekat Syadzilyyah. Di dalam Sejarah Peteng, Sejarah Rante Martabat Tembung Wali (Zaedin, Arifia, & Sutarahardja, 2020:208), di makam Rasûlullâh di Madinah, Syaikh Syarif Hidayatullah juga memberi ijazah ilmu sufi kepada Maulana Hasanudin untuk menempuh makrifat melalui talkin Tarekat Naqsyabandiyah.
Dodo Widarda, Peneliti dan Dosen Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.