Yang Tetap dan Tak Berubah
“Sungguh! Tak pernah mudah memiliki kesadaran untuk tetap terpaut kokoh pada yang Mutlak. Tak pernah gampang memiliki persaksian yang tak pernah goyah pada sesuatu yang pasti benarnya.”
SUNANGUNUNGDJATI.COM-Dikisahkan Imam Junaid al-Baghdadi bersua sahabat sufi lainnya, Sari As-Saqathi. Junaid bertanya, “Bagaimana kabarmu di pagi ini?” Tanya Imam Junaid. “Bagiku, tidak ada kabar (kebahagiaan) baik di malam maupun di pagi hari. Dan aku tidak mempedulikan panjang maupun pendeknya sebuah malam. Jika engkau sudah bersama Tuhanmu, maka kau tak akan merasakan adanya siang maupun malam”, begitu Imam As-Sari menjawab.
Siang ke malam ataupun malam ke siang adalah pergantian waktu. Ia menjadi siklus abadi yang niscaya dialami oleh setiap kita. Lalu deretan angka pada almanak bergerak satu persatu meninggalkan yang lama menggantinya dengan yang baru. Segala hal tiba-tiba beku, lalu layu, mencekam menuju sunyi. Berikutnya, perjalanan abadi segera dimulai. Inilah hukum alam. Agama menyebutnya sebagai sunatullah.
Waktu sebagai pergantian dan keberubahan menjadi dalil yang tak bisa dibantah tentang hukum keberlangsungan makhluk yang bernyawa. Ada titik berangkat lalu berhenti di terminal akhir perjalanan. Dalam hukum waktu tak ada entitas apapun yang tetap dan tak berubah.
Hari kemarin berganti dengan hari ini. Waktulah yang menjadi dinamo penggeraknya. Peristiwa yang dialami di hari kemarin atau di hari-hari sebelumnya mungkin tak akan teralami ulang di hari ini. Di hari ini mungkin saja kita akan bertemu dengan kejadian dan peristiwa baru yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Apakah mengejutkan. Menggembirakan. Atau malah membuat kita berduka.
Sungguh! Seluruhnya akan menjadi rahasia!
Tapi waktu memberikan keniscayaan tentang mata yang terus berkurang awasnya. Kulit yang tiba-tiba mengeriput. Atau uban yang diam-diam tumbuh memberi tanda tentang usia.
Tapi bagi para sufi seperti yang tergambar pada kisah Imam Junaid al-Baghdadi di atas meyakini tentang adanya “sesuatu yang tetap” sekalipun kehidupan mengalami perubahan dan pergantian. Sekalipun tua menggerogoti usia. Sekalipun seluruh yang ada di dunia ini bergerak abadi menemu titik henti.
“Yang tetap” dan tak berubah itu sejauh yang bisa dipahami adalah kesanggupan untuk tetap menautkan kesadaran kepada pemilik nyawa manusia. Tetap kokoh menancapkan persaksian kepada Tuhan sebagai “causa prima” perubahan dan pergantian.
Sungguh! Tak pernah mudah memiliki kesadaran untuk tetap terpaut kokoh pada yang Mutlak. Tak pernah gampang memiliki persaksian yang tak pernah goyah pada sesuatu yang pasti benarnya.
Orang-orang soleh terdahulu atau ‘arifin adalah mereka yang meyakini sekaligus menetapi ketakberubahan itu. Hati mereka terpaut teguh dan keimanan mereka tetap kokoh tak terpengaruh oleh aliran dan perubahan waktu.
Bisakah kita mencontoh mereka? Mari kita resapi sajak sufi Hakim Sana’i seorang sufi Persia:
“Tahun bersalin tahun, batu-batu keras. Kini telah tersepuh cahaya matahari. Semoga kelak sangguplah batu-batu ini menjadi permata nilam atau pun akik Yaman.
Bulan berganti bulan, bulu domba di padang gembala. Semoga nanti akan dikabulkan jadi sepotong selimut wol. Menjadi jubah yang dipakai seorang sufi. Atau pelana lembut di atas punggung keledai.
Minggu telah silam oleh minggu lainnya. Semoga setumpuk kapas yang tumbuh dari air dan tanah. Kelak jadi pakaian dan hiasan wanita cantik. Atau kain kafan pembungkus dia yang mati syahid.
Hari tukar hari, masih saja ia menunggu. Dan begitu tabah dalam penjara derita. Hingga setetes air yang terkurung di kulit kerang. Menjelma mutiara berkilau-kilauan.
Jalan lurus yang tetap menuju Tauhid hanya satu. Dan mesti berani menempuhnya, sebab hanya satu. Kiblatnya hanya satu, bukan dua.
Pilihlah: ridha Kekasih atau gejolak hawa nafsu!”(R4)
Dr. Radea Juli A. Hambali, M.Hum, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.