Sesajen, Adat dan Kearifan Lokal

SUNANGUNUNGDJATI.COM-Apa itu kearifan lokal? Kebijaksanaan² lokal menyangkut lingkungan dan kehidupan. Orang Barat menyebutnya ‘local wisdom.’ Mengapa mereka menyebut ‘local’? Karena bagi mereka, ‘global wisdom’ itu adalah peradaban Barat modern, para filsuf, para pemikir modern atau modernitas. Karenanya, ketika mereka menemukan adanya kebijaksanaan² kehidupan yang tidak berasal dari peradaban Barat global, dari modernitas, mereka menyebutnya ‘local.’

Sama dengan istilah ‘local genius.’ Bagi dunia Barat, kecerdasan itu ada pada mereka, peradaban Barat. Ketika mereka menemukan kecerdasan dan orisinalitas berpikir ada di luar arus Barat, mereka menyebutnya ‘local’ lagi, local genius, lokal yang jenius. Istilah itu semacam kekagetan: “Lho, di luar kita ada orang² pintar juga ya.” Tentu dalam makna pejoratif (merendahkan).

Artikel Terkait

Dalam konteks agama, karena kurang piknik, saat mereka meyakini satu-satunya kebenaram adalah Kristen atau kekristenan, mereka kaget ketika membaca dan menemukan keindahan Islam. Dengan makna pejoratif juga mereka menyebutnya ‘the exotic east.’ Timur yang eksotik, yang kemudian menjadi setting kultural dari lahirnya buku mashur, Orientalism, karya pemikir Amerika kelahiran Palestina, Edward Said.

Jadi, istilah local wisdom dan local genius ini soal dominasi, terkait arogansi budaya, padahal yang sebenarnya tidak begitu. Sama lagi, ketika mereka menyebut dalam sejarah, saat² terbentuknya renaisan dan mulainya supremasi Barat, bahwa komunitas² masyarakat non-Barat itu ‘setengah manusia’ termasuk istilah ‘third world’ (dunia ketiga) dalam sosiologi, sebutan populer pada akhir abad ke-20.

Masyarakat non-Barat, termasuk kita dan epistem pengetahuannya, karena inferioritasnya, ikut²an menyebut local wisdom dengan menerjemahkannya menjadi ‘kearifan lokal.’ Kearifan lokal itu istilah baru abad ke-20 tentang pikiran² bijaksana atau ajaran² alam, lingkungan dan kehidupan yang tak ditemukan dalam modernitas. Kita seakan bangga memakai istilah pejoratif itu. Faktanya, kebijaksanaan atau ajaran² alam, lingkungan dan kehidupan itu lebih banyak di Timur, bahkan sumbernya, yang lebih dekat dengan alam ketimbang Barat modern yang lebih dekat dengan teknologi dan dunia industri.

Lalu, ini sesajennya mana? Saya mau menulis tentang adat dan sesajen jadi malah menggambarkan globalitas terlalu panjang hehe 😊 pikiran tak terkendalikan. Kembali ke laptop!

Sesajen

Sesajen adalah ekspresi kultural masyarakat lokal purba sebagai penghormatan pada alam, memelihara harmonitas dengan alam. Maka, budaya sesajen ditemukan di komunitas² masyarakat sederhana, masyarakat agraris, masyarakat petani yang bergantung pada alam. Secara agama, dekatnya dengan agama dan kepercayaan lokal serta Hindu Budha yang memberikan susuguh pada dewa-dewa. Tradisi sesajen kuat di Hindu Bali, masyarakat Kejawen di Jawa dan Sunda Wiwitan di Jawa Barat.

Ketika Islam datang, agama ini memberikan pemahaman yang rasional hubungannya dengan alam. Penghormatan pada alam itu harus dan memelihara lingkungan wajib, tapi bentuknya lebih kepada akhlak atau perilaku tidak merusak alam bukan pada suguhan² mistis dan makanan pada yang gaib.

Ajaran moral pada alam juga ada pada agama² dan kepercayaa lokal dan Hindu Budha, tapi Islam meluruskan kepercayaannya dengan memberikan pemahaman ajaran tauhid. Soal, kepercayaan pada Tuhannya sama, penghormatannya sama, hanya beda keyakinan. Perbedaan keyakinan mempengaruhi cara berkhidmat pada alam. Islam dengan akhlak, agama dan kepercayaan lokal plus susuguh alias sesajen. Disinilah Cak Nun (Emha Ainun Najib), sebagai budayawan, ia melihat sesajen itu juga adalah cara “bertauhid” dan bukan kesyirikan. Terserahlah itu, karena memang penyebutan kata ‘Allah’ itu berbeda-beda dalam ragam agama dan kepercayaan.

Nendang sesajen memang salah karena itu merusak cara penghormatan masyarakat lokal pada alam. Dilihat dalam konteks keragaman agama dan pluralitas masyarakat, lebih jelas salahnya karena mudah dinilai sebagai sikap intoleran ketika toleransi menjadi agenda nasional.

Sikap yang benar bagi Muslim adalah bukan nendang sesajennya tapi mendakwahi masyarakatnya, mengajarkan tauhid. Kepercayaan masyarakatnya berubah, sesajen akan hilang dengan sendirinya. Adat dan tradisi itu, jangankan oleh tauhid, oleh modernisasi dan rasionalisasi saja lama-lama akan luntur dan hilang. Betapa banyak adat, budaya, tradisi bahkan bahasa² lokal sekarang sudah hilang digulung oleh modernisasi dan globalisasi.

Yang lebih salah, nendang sasajen divideokan dan dipublikasi. Iyalah mengundang masalah, ketersinggungan pihak-pihak yang menghormati tradisi dan kepercayaan agama lain dalam masyarakat plural, yang akhirnya, memproduksi kesalahan-kesalahan lain yang lebih luas dan berlebihan: Bupati marah besar dan menginstruksikan jajaran kepolisian untuk mengejar pelakunya dan diancam dengan hukuman penjara 5 tahun, sementara masyarakat melihat banyak kasus² pelecehan agama yang lain, terutama pada ulama dan Islam, dirasakan adem² saja, laporan² masyarakat tak diproses, tak ada tindakan tegas.

Kalangan Islam sendiri ada yang melaporkan ke kepolisian, kalangan Muslim lain mengkritiknya, yang seharusnya diantara muslim adalah saling mrngingatkan dan saling menasehati bukan melaporkan. Ketakadilan² mengatasi kasus pun diungkapkan, masalah meluas dan melebar, semuanya pakai emosi dan akhirnya kita semua gak ada yang bener menyikapi masalah. Wallahu a’lam.***

Moeflich Hasbullah, Dosen Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button