SUNANGUNUNGDJATI.COM – Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), utamanya internet, jangan dipahami sebagai ancaman bagi berlangsungnya syiar Islam (baca: dakwah). Internet dalam konteks dakwah Islam mesti dijadikan media menyampaikan nilai, norma, pengetahuan, dan terbentuknya wawasan islami.
Oleh karena itu, sebagai penyampai ajaran Islam, seorang da’i mesti memahami, mengetahui dan menguasai TIK guna memuluskan prosesi dakwah. Dengan demikian, pengguna internet dapat memperoleh informasi yang positif guna membimbingnya ke jalan yang diridhai Allah Swt.
Menurut Suparlan Suhartono, dalam buku Filsafat Ilmu Pengetahuan (2005) konsekuensi kemajuan di bidang teknologi informasi global mengakibatkan sistem komunikasi bersifat praktis, individual, private, bahkan masuk ke benak kaum “melek internet” tanpa ada sensor nilai-nilai sosial-kultural dan sosial-religius. Alhasil, dengan watak teknologi yang memiliki produktivitas tinggi ini berpengaruh pada terbentuknya pola sikap sekuler-hedonistik.
Sikap demikian, menurut hemat penulis, terjadi karena tidak seimbangnya informasi yang memuat nilai keagamaan di dunia maya (cyberspace). Sehingga nilai kebajikan yang terkandung dalam ajaran Islam terhijab nilai-nilai kehidupan sekularistik.
Maka, realitas dakwah kekinian tak boleh menafikan bentuk komunikasi virtual. Di mana, praktik komunikasi tidak hanya terpaku pada pengertian tatap muka secara fisik saja. Dengan kemajuan sisi teknologi informasi, keniscayaan bahwa dakwah harus mulai memasuki kehidupan masyarakat “melek internet” yang mempraktikkan komunikasi virtual.
Manfaat internet
Kehadiran internet dalam kehidupan manusia modern, dapat dimanfaatkan untuk mengubah “sikap hidup” dan “keterampilan untuk hidup”. Sebab, secara praktis, para pengguna internet (user) sedang “belajar melakukan”. Mereka juga sedang menambah pengetahuan dengan cara mencari informasi tanpa beranjak dari meja dan kursi (belajar tentang).
Terakhir, dengan internet mereka sedang belajar mempraktikkan dan belajar tentang pelbagai teori, sehingga dapat dipastikan jika itu akan mengubah sikap dan keterampilan hidup pemakai internet.
Para pengguna internet tentunya akan bersikap hedonistik ketika secara kultural berselancar (surfing) tanpa ada pegangan nilai-nilai normatif, baik diambil dari etika normatif maupun yang diambil dari etika kreatif (metaetika).
Saya pikir, aktivis dakwah Islam perlu melakukan upaya pembentukan gerakan internet sehat di kalangan jamaahnya. Tujuannya agar tidak terjebak pada reifikasi (pemberhalaan) seksualitas demi mencari keuntungan ekonomis lewat bisnis yang menggerus umat manusia ke arah abjeksi moral.
Taruh saja dengan jumlah pengguna internet sekira 15 persen dari 240 penduduk Indonesia, misalnya terdapat generasi Islam yang membutuhkan panduan nilai etika. Di dalam Al-Quran Allah SWT berfirman, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya” (QS Al-Jaasiyah: 23).
Berarti, etika harus dimasukkan ke benak pengguna internet, yang punya peluang besar memanfaatkan internet sebagai media mengakses hal-hal pornografis. Tugas organisasi Islam di Indonesia adalah membuat pertahanan diri lewat penggodogan format etika bagi masyarakat “melek internet”. Kemajuan teknologi dan sains tidak lantas menjadikan umat Islam sebagai manusia biadab dan tak beradab.
Formulasi dakwah Islam
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi moral-etika sewajibnya memberikan panduan etis dalam menggunakan media internet. Maka model dakwah Islam mestinya diformulasikan secara tepat dengan memanfaatkan akses internet agar umat Islam dapat memeroleh informasi keislaman secara imbang.
Diharapkan bentuk dakwah virtual dapat memproteksi user agar memiliki pijakan moral dan nilai ketika berselancar (surfing). Sebab, akan berbahaya ketika internet didominasi laman website yang menghadirkan hal-hal pornografis, sehingga membuat pengguna muslim terkurung abjeksi moral dan kian degradatif.
Pelatihan internet oleh komunitas Santri Indigo, merupakan bentuk perlawanan atas nilai sekularistik di dunia maya. Kegiatan ini juga dapat berposisi sebagai upaya pembentukan etika literacy bagi pengguna internet dan harus mulai dilakukan organisasi Islam.
Pihak ormas Islam pun pada posisi demikian, mesti tanggap terhadap arus globalisasi informasi yang sedemikian cepat meracuni pola pikir manusia modern. Sebab, merespon perkembangan atau kemajuan teknologi informasi dan komunikasi adalah keniscayaan.
Dakwah Islam dalam konteks ini dapat berupa penyadaran kolektif lewat pelatihan internet sehat untuk setiap jamaah. Alhasil, ketika mereka mengakses internet di rumahnya, akan melakukan bimbingan pada anaknya agar memanfaatkannya secara sehat.
Sebab, di era cyberspace, setiap bentuk seksualitas dapat dijadikan alat pemenuh kebutuhan ekonomi kaum kapitalis (libidonomics). Sehingga, setiap orang yang tidak memiliki landasan etika penggunaan internet akan terjebak pada logika konsumer pasif dunia “esek-esek”. Akibatnya, dapat meracuni pola sikap, tindakan dan pemikiran ke arah laku indivdualis-amoral-liberalis.
Pemblokiran situs porno merupakan langkah awal mencegah terdegradasinya moralitas generasi muda. Namun, akan lebih kokoh lagi jika ulama atau tokoh masyarakat memberikan arahan kepada mereka seputar nilai-nilai etis dalam menggunakan internet.
Karena itulah, pendakwah yang melek internet sangat dibutuhkan sekarang ini. Kalau pendakwah menutup diri dari kemajuan teknologi informasi ini, layak mencamkan pepatah Ali Syari’ati, “….semakin tinggi perkembangan sains dan teknologi, maka semakin tinggi pula manusia menuju kebiadaban”.
Sukron Abdilah, Alumni Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung.