Fanatisme

“Dari fanatisme ke kebiadaban hanyalah satu langkah” (Diderot).

SUNANGUNUNGDJATI.COM-Saya hanya menduga saja bahwa apa yang tengah berkecamuk di media sosial (facebook, twitter dan instagram) akhir-akhir ini adalah berkecambahnya tunas-tunas kebencian, pamer otot dan fanatisme.

Kran demokrasi yang terbuka lebar seakan membuka segalanya tentang watak manusia yang sesungguhnya. Homo sapiens yang pernah ditahbis sebagai puncak gelar yang dimiliki manusia tiba-tiba merosot dan bermeta-morfosa menjadi homo brutalis. Kisah Pemilihan Gubernur Jakarta 2017 juga Pemilu Presiden 2019 yang lalu menjadi contoh absah untuk melukiskan fenomena itu.

Dua peristiwa demokrasi elektoral itu telah menghasilkan antinomi kawan dan lawan, hingga hari ini. Media sosial menjadi ajang pertempuran sengit antara “kami” dan “mereka”. “Aku-online” yang diasuh oleh algoritma media sosial untuk memihak satu kelompok pilihan berubah menjadi “aku-offline” yang beringas penuh kebencian kepada kelompok lain yang berbeda pilihan.

Ya, media sosial telah menjadi semisal “echo chamber” atau “sekolah” yang membiakkan fanatisme dan ekshibisionisme sikap-sikap ekstrem. Revolusi digital telah membuka panggung secara transparan untuk memamerkan kebencian dan fanatisme.

Bagi saya, fanatisme adalah menyangkut dengan cara atau gaya berpikir. Akhiran “isme” pada kata itu menunjukkan kebenarannya. Dengan begitu, soal fanatisme menyangkut dimensi epistemologi. Seorang fanatik adalah dia yang memiliki keteguhan keyakinan atas kebenaran mutlak pemahamannya sendiri.

Sekalipun tuturan suci menyebut manusia sebagai makhluk yang dicipta dalam bentuknya yang paling baik, tetap saja harus diakui bahwa manusia adalah makhluk yang tidak sempurna. Ia bisa salah dan keliru karena sudut pandangnya terbatas oleh ruang dan waktu.

Dibalik kelemahan manusia ternyata ada kecenderungan untuk mengingkari kemungkinan melakukan kekeliruan dan kebersalahan. Pikiran seakan berambisi meraih pengetahuan yang lengkap, pemahaman yang sempurna dan selesai sebagaimana dimiliki Tuhan. Ambisi ini seperti kata Sartre adalah “une passion inutile”, suatu hasrat yang sia-sia karena ia bukan Tuhan.

Apakah fanatisme atau bersikap fanatik itu seluruhnya salah. Tidak! Saya adalah pendukung fanatik Persib Bandung. Saya adalah penyuka fanatik Dream Theater bukan campursari. Ketika Persib kalah, seakan ada yang terluka di bagian dalam diri saya. Ketika diperdengarkan “spirit carries on” nya Dream Theater, saya seakan dipapah untuk mempertanyakan beberapa hal dalam hidup.[]

Tabik,

RADEA JULI A. HAMBALI, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button