Emosi Ibu, Janin dan Kebaikan Bersama

SUNANGUNUNGDJATI.COM — Sejak dalam kandungan ibu, ketika kita jadi salah satu dari sekian anak yang dipercaya. Ruh diberikan langsung oleh Allah SWT ketika usia janin empat bulan, suasana jiwa atau batin sudah mulai terpola dengan kondisi situasi sang ibu.

Emosi yang terbentuk pada setiap orang, ada faktor-faktor yang memberikan stimulasi ketika dalam kandungan, yang dipengaruhi oleh sari makanan dan minuman yang dikonsumsi dan juga kondisi psikologis ibu dari bayi yang dikandungnya.

Tidak heran, ketika emosi setiap manusia berbeda-beda sekalipun dalam satu rahim yang sama. Stimulasi dan pembentukan jiwa serta raga manusia sudah pasti berbeda.

Dari berbagai makanan yang dikonsumsi, hubungan komunikasi-interaksi ibu dengan lingkungan sekitar, khususnya dengan suami atau ayah dari bayi yang dikandung, itu sangat mempengaruhi sikap dasar setiap orang di mana pun berada.

Emosi dikenal dari penyerderhanaan suatu nafsu seseorang yang muncul dari kondisi dan situasi jiwa yang terbentuk sejak dini. Nafsu tersebut menjelma dalam perkataan, pemikiran, dan perbuatan.

Sikap yang dimunculkan setiap orang akan dinamis dan fluktuatif, hal itu bergantung pada situasi dan kondisi yang memancing serta mendorong untuk bersikap.

Ketika emosi amarah dan sedih, itu didominasi oleh kekecewaan dan kekesalan mendalam. Ketika emosi bahagia, itu didominasi oleh harapan atau keinginan yang terpenuhi.

Sama halnya ketika setiap istri mengandung anak itu sangat dipengaruhi oleh kondisi emosi ketika mengandung. Kekecewaan dan kekesalan setiap istri, lebih banyak dipengaruhi oleh komunikasi dan hubungan interaksi dengan pasangannya.

Dari setiap anak-anak yang dilahirkan tumbuh kembang sikapnya berbeda-beda. Itu dirasakan betul setelah direnungkan bahwa sikap dan perilaku anak dasarnya dipengaruhi ketika masa kandungan dan hubungan interaksi keluarga di rumah.

Para suami, ingatlah wanita yang mengandung anak kita adalah pasangan yang diberi amanah beban berat. Selain mengandung setiap anak dengan masing-masing sembilan bulan pada posisi yang dipenuhi rasa khawatir, kemudian dibebankan hal-hal yang membuat kesal dan kecewa.

Wajarlah ketika kita sebagai seorang suami kemudian diberi beban untuk pekerjaan dalam rumah dan di luar rumah, maka itu harus mampu diselesaikan dengan baik.

Stabilitas emosi pasangan suami istri menjadi indikator pada stimulasi dasar emosi anak-anak. Semakin baik kondisi emosi keluarga, semakin baik perkembangan kecerdasan sosial-emosional anak.

Baik buruk sikap anak masih sangat memungkinkan untuk berubah seiring dengan kondisi situasi lingkungan sekitar yang mempengaruhinya. Bersama menjaga anak menjadi nilai ibadah yang tidak terhingga, maju bersama untuk keluarga bahagia semoga penuh makna.

Ace Somantri, Alumni Fakultas Syariah UIN SGD Bandung, Wakil Ketua PD Muhammadiyah Kabupaten Bandung.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button