Suatu Hari Bersama Sekelompok Sufi

- Editorial Team

Minggu, 24 Maret 2024

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

AHMAD SAHIDIN, penulis buku Tanda-Tanda Kiamat Mendekat.

SUNANGUNUNGDJATI.COM — SUDAH lama aku tak bercerita tentang keresahan dan ketakberdayaan hidup. Namun kali ini aku ingin bercerita dari kisah seorang filsuf Muslim abad 12 Masehi yang dijatuhi hukuman mati karena pemikiran dan keyakinannya berbeda dengan ulama mayoritas. Siapakah ia?

Beliau adalah Syaikh Isyraqi Syihabuddin Yahya as-Suhrawardi, yang dihukum gantung oleh Sulthan Shalahudin al-Ayyubi. Filsuf yang wafat pada usia 35 tahun ini merupakan guru Malik Az-Zhahir, putra Sulthan Shalahudin al-Ayyubi.

Cerita ini kudapatkan dari buku “Hikayat-hikayat Mistis” karya Syaikh Al-Isyraq Syihabudin Yahya as-Suhrawardi. Aku ingin bercerita dari bagian “Suatu Hari Bersama Sekelompok Sufi”. Pada hikayat ini, penulis yang dikenal sebagai filsuf sekaligus sufi menyampaikan pengalaman intuitif dengan bahasa sastra. Ia bercerita, dirinya diajari seorang guru yang hingga dirinya paham tentang hakikat semesta dan kehidupan ini.

Namun suatu ketika, ia melafalkan kalimat-kalimat itu di lingkungan yang belum paham akan isi dari kalimat-kalimat yang didapatkan dari ajaran gurunya itu. Seketika itu juga orang-orang di sekitarnya menamparnya—karena dianggap bisa terjerumus dalam syirik dan zindiq. Gurunya yang hadir dalam pertemuan itu yang sedang mengajarkan pengetahuan padanya, namun tak terlihat oleh yang lainnya, langsung menghilang.

Ia kemudian mencarinya. Tapi tak ditemukan juga. Hingga tiba di sebuah khanaqah (balai pertemuan para sufi) dan bertemu dengan seorang bapak yang mengajaknya berbincang. Ia pun bercerita perihal yang membuatnya sedih hingga bertemu dengannya. Bapak itu membenarkan yang disampaikan gurunya itu, yang mengatakan, “Jika mengkabarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang diyakini mereka, pasti berdampak kurang baik. Mereka yang tak paham akan hakikatnya tak akan merasakan lezatnya apa yang kau alami.”

“Jika kau ingin betemu gurumu itu, bersihkan dirimu dan jalani riyadhah. Insya Allah kau akan menikmati kembali apa yang kau dapati dari gurumu itu. Kau akan merasakan betapa nikmatnya meneguk pengetahuan sejati. Tak semua orang bisa meraihnya,” pesannya.

Masih dalam buku itu, diceritakan bahwa bapak yang mengajarinya itu memberikan pelajaran bagaimana memandang segala fenomena yang ada pada alam semesta.

Menurutnya, ada tiga pandangan: pertama, memandang dengan apa adanya secara fisik; kedua, melihat rahasia yang terdapat dibalik fenomena sehingga bisa mengambil hikmah yang bermanfaat; ketiga adalah mereka yang memandang fenomena sebagai realitas yang hakiki. Mereka yang memandang dengan yang ketiga ini, dalam memandang “sesuatu” tidak lagi seperti yang kedua, yang menggunakan penalaran intelektual, tetapi langsung bisa memahami apa-apa yang dilihatnya dan yang seharusnya dilihat. Penglihatannya ini berdasarkan eksperensial intutif atau pengalaman ruhani. Orang yang seperti ini tak perlu bersusah payah dalam memahami fenomena, tapi justru fenomena itu sendiri yang hadir mengkabarkan padanya (knowledge by presence).

Memang untuk melangkah atau menjadi (yang termasuk) kategori ketiga ini cukup berat. Selain harus mau berproses dengan waktu yang cukup lama dan disiplin diri pun tak kalah harus tetap dijalaninya.

Suhrawardi sendiri sebagai selaku penempuh yang telah merasakan manfaatnya, menginformasikan bahwa untuk mencapai tingkatan yang ketiga itu ada tiga hal yang harus dilakukan.

Pertama, selain menjalankan amaliyah syariat Islam (ibadah) yang benar, juga dianjurkan untuk melakukan puasa selama empatpuluh hari. Aku tak tahu apakah ini ada tuntunan dari Rasulullah saw? Kupikir orang tak akan mampu puasa selama empatpuluh hari berturut-turut. Mungkin juga ada yang mampu—bila memang itu ditekadkan dalam dirinya. Kupikir puasa ini bukan puasa syariat seperti tidak makan-minum-dan tidak berhubungan seksual seperti puasa Ramadhan, tetapi puasa yang melatih diri kita untuk tidak terjerat atau dikuasai nafsu duniawi dan memfokuskan diri hanya kepada Allahu Rabbul Izzati. Mungkin dengan terus-menerus selama empatpuluh hari berada dalam kontrol atau kendali syariat agama akan menjadikan diri berada dalam posisi suci. Juga berada dalam keadaan terjaga dan mampu membentengi dirinya dari hal-hal yang menjerumuskannya dalam kesia-siaan. Ini yang kukira maksud puasa yang dianjurkan Suhrawardi.

Kedua, sembari terus melakukan puasa dan aktivitas syariat, diharuskan mengkosongkan diri dari hal-hal duniawi seperti jangan menumpuk harta dan kekayaan atau benda-benda materi serta mulai menghindarkan dari kesenangan-kesenangan psikologis. Juga hindarkan diri dari aktivitas yang tercela, kemaksiatan dan yang merugikan orang lain.

Menurut Suhrawardi, untuk itu seseorang harus membebaskan dirinya dengan kepasrahan total kepada Yang Mahasegalanya (Allahuta`ala)—sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku, semuanya hanya bagi Tuhan semesta alam. Orang yang pasrah kepada Tuhan semesta alam termasuk kategori manusia sejati. Kehidupan dengan bergelimang harta dan kemewahan atau manusia yang terikat dengan keduniawian tak akan pernah bisa pasrah. Orang yang masih mengkhawatirkan kehidupannya, pasti tak akan mau melepaskan hal-hal yang dicintainya, baik itu harta, anak, istri, atau kedudukan. Karena itu, untuk menjadi manusia sejati sangat diperlukan keberanian untuk melepaskan/meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi.

“Dunia kepasrahan merupakan dunia yang sangat menyenangkan. Tapi tak semuia orang menginginkannya,” kata Suhrawardi (hal.73).

Pada bagian hikayat “Kanak-kanak”, Suhrawardi menegaskan bahwa manusia dengan segala kekayaan atau duniawinya, sangat berat untuk meninggalkan semua itu untuk menuju Ilahi. Bila direnungi, yang namanya dunia itu bersifat sementara dan tak pernah mencapai puas. Pasti selalu ingin mempertahankannya dan berat untuk meninggalkannya—karena menganggap itu semua berarti baginya.

Sosok manusia yang dirasuki cinta dunia inilah akan selalu mengkhawatirkan nyawa dan anggota-anggota tubuhnya. Ketika ia kehilangan segala harta benda atau duniawinya, ia akan merasakan betapa pahitnya hidup dan berputus asa. Hal ini yang perlu dilepaskan dengan memasrahkan diri sepenuhnya kepada Allah Yang Mahasegalanya.

Ketiga adalah mulai memikirkan (tafakur) secara mendalam tentang hakikat eksistensi diri dan semesta, termasuk Tuhan. Dalam proses perenungan ini tak jarang dihinggapi rasa tak was-was dan ketakutan akan masa depannya? Atau takut pada masa yang belum dialaminya. Harus diakui bahwa aku kadang merasakan takut yang luar biasa. Aku senantiasa takut dengan hari esok. Takut dan sungguh ini yang terasa hantuiku. Aku sadar esok bukan milikku. Hanya milik Tuhan semesta alam. Dia Mahamenentukan. Dia Mahapengendali. Dia Yang Mahatahu. Seperti apa dan bagaimana aku esok? Kutahu ini misteri.Namun kuakui belum mampu pasrah. Aku sendiri mengakui bahwa imanku belum sampai pada Ilahi.

Kenapa dan mengapa ini bisa terjadi dan hinggapi manusia? Suhrawardi menjelaskan bahwa hal-hal eksistensial mucul karena Tuhan telah memberikan potensi-potensi yang bersifat fitrah, salah satunya yang disebut huzn (kesedihan). Huzn ini muncul ketika diri merasa tak berdaya. Ini sifatnya fitrah. Semua orang mengalaminya. Namun tak semua orang kuat berada dalam kondisi sedih. Mereka yang tak kuat, tak jarang melakukan tindakan yang luar logika manusia. Bunuh diri atau ngamuk, misalnya. Jiwa seperti memang sedang berada di bawah sadar. Tapi beda dengan para sufi yang sedang “fana” atau “mabuk” karena dekat dan terpesonanya pada Sang Maha Realitas—sufi beraliran wihdatulwujud dan ittihad biasanya mengalami fenomena ini.

Seperti cinta tak bisa diketahui orang lain. Hanya yang mengalaminya yang akan tahu. Sang pecinta yang akan meraskan pahit, derita, dan keindahannya. Keindahan yang ditampakannya itu merupakan manifestasi cinta sehingga yang dilihat dan dialami, seberat apa pun, diangapnya bentuk kasih sayang. Ia akan menerimanya sebagai syukur dengan penuh kepasrahan padanya.

Mengapa bisa begitu? Mungkin ia sudah merasakan dirinya bersatu dengan Sang Realitas (baca: Tuhan) yang dicintainya. Tidakkah ini bentuk ketidakberdayaan yang memberdayakan dirinya? Entahlah, yang pasti aku sendiri tak pernah mengerti.

Pos Terkait

Kerja Keras, Hidayatul Fikra, dan Managing Editor Jurnal Riset Agama
Ingin Memastikan Keutuhan Gagasan dalam Menulis Skripsi, Yuk Ikuti 3 Cara Ini!
Yuk Budayakan Semangat Inovasi
Yuk Memulai Perubahan dari Hal-hal Kecil
Jadilah Pemimpin Berintegritas di Tengah Perubahan
Saatnya Akselerasi SDM Pesantren: Santri Unggul dan Mendunia
Santri, Pelantikan, dan Kepemimpinan Bangsa
Pelatihan, Kelas Menulis, dan Universiteit Leiden

Pos Terkait

Rabu, 20 November 2024 - 08:46 WIB

Kerja Keras, Hidayatul Fikra, dan Managing Editor Jurnal Riset Agama

Senin, 4 November 2024 - 09:39 WIB

Ingin Memastikan Keutuhan Gagasan dalam Menulis Skripsi, Yuk Ikuti 3 Cara Ini!

Jumat, 1 November 2024 - 20:30 WIB

Yuk Budayakan Semangat Inovasi

Selasa, 29 Oktober 2024 - 11:57 WIB

Yuk Memulai Perubahan dari Hal-hal Kecil

Minggu, 27 Oktober 2024 - 11:45 WIB

Jadilah Pemimpin Berintegritas di Tengah Perubahan

Pos Terbaru

Edukasi

Siapkan Generasi Hebat, Menjadi Guru Ala Nabi

Sabtu, 30 Nov 2024 - 17:59 WIB

Reliji

3 Cara Menyambut Pemimpin Baru

Jumat, 29 Nov 2024 - 14:19 WIB