RAMADAN DI TATAR SUNDA (7) : Pakansi Puasa

- Editorial Team

Kamis, 21 Maret 2024

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Atep Kurnia, Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang.

SUNANGUNUNGDJATI.COM — Saya mendapatkan fakta menarik dari masa lalu. Faktanya di masa penjajahan Belanda, murid-murid sekolah di Hindia diberi kesempatan libur pada bulan Ramadan. Bahkan ketika ada guru-guru bangsa Belanda mengusulkan agar tidak diliburkan, orang-orang Sunda memprotesnya.

Faktanya saya peroleh dari lema “Sora Sunda” (Ensiklopedi Sunda, 2000: 604). Dalam buku suntingan Ajip Rosidi itu disebutkan Sora Sunda adalah mingguan yang diterbitkan oleh Paguyuban Sora Sunda di Bandung pada 1923. Mingguan itu berkantor di Sasakgantung No. 2, dengan direksi merangkap administrasi R. Roekmanda, dan mempunyai motto “Keur kaperluan Pasundan djeung Tanah Hindia” (untuk kepentingan Pasundan dan Tanah Hindia).

Menurut penulis lema, pada edisi 3 Februari 1923, ada artikel menarik yang memprotes usul guru-guru Belanda yang meminta agar liburan HIS jangan dilaksanakan dalam bulan Puasa, tapi agar tetap bulan Juni setiap tahun. Orang-orang yang memprotesnya meminta orang-orang Belanda agar menghormati para pemeluk Islam yang melaksanakan kewajiban agamanya. Dengan kata lain, agar orang-orang Belanda menghormati bulan Puasa, bulan suci pemeluk Islam.

Fakta bulan Ramadan zaman Hindia Belanda adalah waktu libur para siswa juga saya dapatkan dari berita Sipatahoenan edisi 13 Oktober 1934. Dalam warta bertajuk “Atoeran Vacantie pikeun Sakola Klas II” (Aturan pakansi untuk sekolah kelas II, dijelaskan “Koe bisloeitna Directeur van Onderwijs en E. tanggal 16 September 1934 No. 29187/B, atoeran pakantji pikeun Openbare Inl lagere scholen (iwal di Bali) pikeun cursus taoen 1934-1935 geus ditetepkeun kieu” (Dengan adanya surat keputusan direktur pendidikan dan agama tanggal 16 September 1934 No. 29187/B, aturan pakansi bagi sekolah-sekolah dasar bumiputra [kecuali di Bali] untuk tahun ajaran 1934-1935 sudah ditetapkan begini).

Aturan “Kahidji” (pertama) berlaku bagi sekolah yang muridnya beragama Islam (“pikeun sakola noe moeridna beragama Islam)”. Pertama, libur pada akhir tahun selama seminggu setelah selesainya tahun ajaran tanggal 13 Oktober 1934 (“Najaarvacantie [dina toetoep taoen] lilana saminggoe, mimitina saboebar pangadjaran tanggal 13 October 1934”).

Kedua, libur puasa selama lima minggu, setelah selesainya pengajaran tanggal 13 Oktober 1934 (“Vacantie Poeasa 5 minggoe, mimitina saboebar pangadjaran tanggal 6 December 1934”). Ketiga, libur seminggu untuk voorjaarvacantie yang dimulai pada 20 April 1935. Dan keempat, libur seminggu untuk overgangvacantie yang dimulai pada akhir Juli 1935.

Di daerah lain juga berlaku sama. Seperti yang saya baca dari berita “Perajaan bagi Moerid-moerid Sekolah di Koetoardjo” (Bintang Timoer, 10 Maret 1927). Di situ dikatakan, “Berhoeboeng dengan vacantie boelan Poeasa jang pandjang itoe, atas oesahanja kaoem goeroe-goeroe, baikpoen dari sekolah Gouvernement, maopoen dari sekolah particulier, dengan pimpinannja Samidjo, seorang goeroe HIS di Koetoardjo pada hari ini diadakan perajaan bagi moerid2 sekolah jang mengandoeng maksoed oentoek: ‘selamat berpisah!’ dalam waktoe vacantie itoe”.

Dari berita “Daja oentoek Memadjoekan Moerid Volkschool” (Pemandangan, 13 November 1936) dikatakan, “Terdengar kabar jg dapat dipertjaja, direg. Bangkalan moerid moerid Volksschool habis vacantie Poeasa ini akan diberi persen makan nasi waktoe tengah bari, jaitoe oentoek memadjoekan masoeknja moerid, dan wang begrooting dan itoe persediaan akan diambil dari Asib.

Dari daerah Sumatra, saya mendapatkan keterangan dari Hamka dan Muhamad Radjab. Hamka, melalui Dibawah Lindungan Kaabah (1938, cetakan 1962: 25), menulis begini: “Bilamana pakansi puasa telah datang, gembiralah hati saja, karena akan dapat saja menghadap ibu saja, memaparkan diha- dapannja, bahwa dia sudah patut gembira, karena anaknja ada harapan akan mendjadi orang alim”.

Sementara Muhamad Radjab menyatakannya dalam Tjatatan di Sumatera (1958: 113). Ia mengatakan, “Sekolahnja ditutup pula, karena pakansi puasa; hanja kira-kira 30 orang murid dan tiga guru jang tidak pulang kekampungnja. Kami dibawa guru-gurunja keruangan tenun, tempat murid-muridnja beladjar menenun sarung …”.

Sumber, http://forumtbm.or.id/

Pos Terkait

Kerja Keras, Hidayatul Fikra, dan Managing Editor Jurnal Riset Agama
Ingin Memastikan Keutuhan Gagasan dalam Menulis Skripsi, Yuk Ikuti 3 Cara Ini!
Yuk Budayakan Semangat Inovasi
Yuk Memulai Perubahan dari Hal-hal Kecil
Jadilah Pemimpin Berintegritas di Tengah Perubahan
Saatnya Akselerasi SDM Pesantren: Santri Unggul dan Mendunia
Santri, Pelantikan, dan Kepemimpinan Bangsa
Pelatihan, Kelas Menulis, dan Universiteit Leiden

Pos Terkait

Rabu, 20 November 2024 - 08:46 WIB

Kerja Keras, Hidayatul Fikra, dan Managing Editor Jurnal Riset Agama

Senin, 4 November 2024 - 09:39 WIB

Ingin Memastikan Keutuhan Gagasan dalam Menulis Skripsi, Yuk Ikuti 3 Cara Ini!

Jumat, 1 November 2024 - 20:30 WIB

Yuk Budayakan Semangat Inovasi

Selasa, 29 Oktober 2024 - 11:57 WIB

Yuk Memulai Perubahan dari Hal-hal Kecil

Minggu, 27 Oktober 2024 - 11:45 WIB

Jadilah Pemimpin Berintegritas di Tengah Perubahan

Pos Terbaru

Edukasi

Siapkan Generasi Hebat, Menjadi Guru Ala Nabi

Sabtu, 30 Nov 2024 - 17:59 WIB

Reliji

3 Cara Menyambut Pemimpin Baru

Jumat, 29 Nov 2024 - 14:19 WIB