Aang Ridwan, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
SUNANGUNUNGDJATI.COM — Di kaki Jabal Nur, sebuah gunung di kota Mekah, dimana pada pucak tertingginya terdapat Gua Hira. Kini telah berdiri Museum Wahyu. Sebuah Museum yang dengan sentuhan teknologi digital menyajikan visualisasi dakwah para Nabi.
Setelah menikmati alur histori perjuangan para Nabi yang begitu epic. Dengan mata berkaca-kaca, seorang jemaah menghampiri sembari lirih bertanya, “Ustadz!, kenapa sekarang ini saya begitu takut dikesendirian”. Sembari menuju ke puncak Jabal Nur, saya menjawab dengan guyon, “Pak! di Gua Hiro itu, Rasul menerima wahyu ketika sendirian”.
Jemaah yang telah berusia senja itu baru saja ditinggal wafat isteri sebagai belahan jiwanya. Sementara semua buah hatinya memilih berkarir dan tinggal di luar negeri. Hidupnya hari ini tidak hanya sebatang kara tetapi juga dikepung oleh rasa seorang diri, rasa tidak dicintai, rasa tidak disayangi, rasa tidak berharga, dan perasaan khawatir lainnya.
Rasa seorang diri dan sepi, lazimnya lahir dari kekecewaan berat atas lenyapnya support sosial. Bila dipelihara, rasa ini tak jarang menjebak penderitanya untuk self heatread, benci pada diri sendiri. Lalu disematkanlah berbagai label negatif pada dirinya. Dalam posisi demikian, self-esteem, rasa kebanggaan terhadap diri sendiri akan runtuh.
Sesungguhnya tidak ada seorangpun yang tidak mengalami rasa kesendirian dan kesepian. Setiap orang pernah mengalaminya. Solusi untuk mengentaskan rasa ini diantara self development, membangun diri, untuk selanjutnya melampaui rasa suka dan tidak suka atas kesendirian dan kesepian itu. Kemudian berdamai dengan kenyataan. Karena sejatinya hidup tidak hanya ada kebersamaan tetapi juga ada kesendirian.
Dalam membangun diri, narasi agama menghajatkan siapapun yang mengalami rasa kesendirian dan kesepian, untuk melakukan perjalanan “from loneliness to spiritual awareness”. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tidaklah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (Qs. Al-Madah: 105).
Dalam spirit ayat ini, sesungguhnya kesendirian memberi kesempatan kepada siapapun yang mengalaminya untuk segera kembali kepada Allah, membangun kemesraan dengan-Nya. Dengan begitu, akan terbuka kesempatan untuk lebih fokus beribadah.
Dalam perjalan kembali kepada Allah, kesendirian akan menjaga diri dari dosa keji (fahisyah), yakni dosa yang kerap kali dikerjakan bersama-sama. Tidak hanya itu, bila khilaf berbuat dosa. Dengan kesendirian, orang lain akan terjaga dari keburukan dan dosa yang diperbuat.
Ketika kesendirian digunakan sebagai kesempatan untuk kembali kepada Allah, maka segenap potensi diri lazimnya terpantik untuk berkarya dan beramal baik. Pada kutub itu, kebanggaan terhadap diri tidak akan runtuh. Karena itu kaum cendikiawan menarik benar merah , “banyak karya besar yang lahir dari kesendirian dan kesepian”.
Majid Majidi misalnya, seorang sineas dari Persia itu pernah berkata, “terkadang saya sangat membutuhkan sakitnya kesepian untuk mewujudkan berbagai imajinasi”. Bila rumus dan dosisnya tepat. Kesendirian lazimnya memantik lahirnya karya-karya hebat.
Leonard Ravenhill pun pernah berujar, “Great eagles fly alone, great lions hunt alone, great souls walk alone, alone with God. Dan dikesendirian itu pula Baginda Nabi menerima wahyu di Gua Hira untuk selanjutnya mengubah dunia lebih bercahaya.