AHMAD SAHIDIN, penulis buku Tanda-Tanda Kiamat Mendekat.
SUNANGUNUNGDJATI.COM — Proses penyebaran dan perluasan Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan melalui dua gerbang penyebaran, yaitu Cirebon dan Banten. Pada dua daerah itu dikuasai oleh seorang raja juga seorang ulama, yaitu Sunan Gunung Jati. Karena dua kekuasaan yang diperankannya yaitu kekuasaan politik dan agama, dia mendapatkan gelar Ratu Pandita. Di bawah kepemimpinannya dilakukan penyebaran agama Islam di Jawa Barat atau Tatar Sunda dari dua pusat kekuasaan Islam, yaitu Cirebon dan Banten.
Kesultanan Cirebon
Sejarah mengenai Cirebon dapat dilihat dalam beberapa naskah di antaranya Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, Babad Walangsungsang, Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara, Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawa Dwipa, Pustaka Negara Kertabumi, Wawacan Sunan Gunung Jati dan lain sebagainya.
Cirebon pada mulanya merupakan desa nelayan yang bernama Pasambangan, yang letaknya kurang lebih 5 KM dari kota Cirebon sekarang. Sedangkan kota Cirebon sekarang asalnya bernama Lemah Wungkuk, yaitu sebuah desa kecil yang merupakan pemukiman masyarakat Muslim yang dipimpin oleh Ki Gedeng Alang-Alang. Menurut Pangeran Suleiman Sulendraningrat dalam Babad Tanah Sunda Babad Cirebon, Ki Gedeng Alang-Alang oleh penguasa Pajajaran diangkat menjadi kepala pemukiman masyarakat Muslim Lemah Wungkuk dengan gelar Kuwu Cerbon. Ada pun batas wilayahnya meliputi Sungai Cipamali sebelah Timur, Cigugur sebelah Selatan, Pegunungan Kromong sebelah Barat, dan Junti (Indramayu) sebelah Utara.
Dalam Babad Cirebon, Carita Purwaka Caruban Nagari, ataupun Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara disebutkan sejarah Cirebon bermula dari dua nagari yang berada di daerah pesisir pantai utara Cirebon, yaitu Nagari Surantaka dan Singapura. Pada tahun 1415 ke Nagari Singapura, tepatnya di Pelabuhan Muara Djati berlabuh kapal dari Cina selama satu minggu yang dinahkodai oleh Te Ho atau Cheng Ho atau Sam Po Kong dengan sekretarisnya bernama Ma Huang. Mereka adalah penganut agama Islam. Setelah menetap di Nagari Singapura, Ma Huang menikah dengan saudara Ki Gedeng Tapa, yaitu Nyai Rara Rudra. Setelah perkawinannya, Ma Huang bergelar Ki Dampu Awang. Menurut buku Baluwarti Keraton Kasepuhan Cirebon, para pengikut Cheng Ho berhasil membanguan sebuah Mercu Suar.
Kemudian tahun 1418 ke Nagari Singapura datang pula rombongan pedagang dari Campa. Salah satu anggota rombongan tersebut terdapat seolang mubaligh, yaitu Syekh Hasanudin bin Yusuf Siddik. Atas persetujuan Ki Gedeng Tapa, untuk beberapa lama mereka tinggal di Singapura. Syekh Hasanuddin bin Yusuf Siddik kemudian pergi ke Karawang dan mendirikan pesantren dan namanya kemudian dikenal menjadi Syekh Quro. Dari pertemuannya dengan Syekh Quro, kemudian Ki Gedeng Tapa mengirimkan puterinya Nyai Subang Larang untuk belajar ilmu agama Islam di Pesantren Syekh Hasanuddin bin Yusuf Siddik atau Syekh Quro Karawang.
Selain kedatangan Syekh Quro, Ki Gedeng Tapa kedatangan pula mubaligh pengajar agama Islam, yaitu Syekh Datuk Kahfi adik Sultan Sulaiman Bagdad. Pada saat dia datang ke Singapura, penguasa nagari tersebut yaitu Ki Gedeng Tapa telah masuk Islam. Maka atas izin dari Mangkubumi Singapura Syekh Datuk Kahfi menetap di Nagari Singapura, yaitu di Pasambangan. Di Pasambangan ini Datuk Kahfi menikah dengan Hadijah seorang cucu Haji Purwa. Haji Purwa dianggap sebagai tokoh penyebar agama Islam pertama di Jawa Barat. Kemudian Syekh Datuk Kahfi mendirikan pesantren yang bernama Pesantren Quro Amparan Djati. Syekh Datuk Kahfi ini kemudian dikenal sebagai Syekh Nurjati.
Menurut Pustaka Carita Parahyangan, Prabu Siliwangi Raja Pajajaran dari isterinya yang bernama Nyai Subang Larang atau Subang Karancang yang menganut agama Islam mempunyai anak yang bernama Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Raden Sanggara. Semua anak-anak Prabu Siliwangi dari Subang Larang mengikuti jejak ibunya menganut agama Islam. Sebagaimana Subang Larang ibunya, mereka menganut menganut Islam mazhab Hanafi. Setelah meninggal ibunya, Pangeran Walangsungsang dan adiknya, Nyai Lara Santang, diceritakan pergi menuju ke kerajaan Singapura yang terletak di pesisir pantai Utara Jawa dengan tujuan untuk menemui kakeknya Ki Gedeng Tapa. Di sinilah putra dan putri raja Pajajaran memeluk dan belajar agama Islam kepada Syekh Nurjati. Pangeran Walangsungsang diberi nama baru, yaitu Ki Samadullah dan kelak setelah menunaikan ibadah haji namanya berganti menjadi Haji Abdullah Iman. Pada tahun 1445, Haji Abdullah Iman membuka pemukiman baru di daerah Kebon Pesisir atau Tegal Alang-Alang atau Lemah Wungkuk. Di daerah baru ini Ki Samadullah berhasil menarik perhatian dari para pendatang lainnya, sehingga daerah Tegal Alang-Alang menjadi daerah baru yang banyak didatangi oleh para pendatang dari berbagai latar belakang baik suku maupun agama. Daerah ini yang kemudian disebut Dukuh Cirebon.
Atas saran Syekh Nurjati, Ki Samadullah dan Nyai Larasantang menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanan ke Mekah, perahu layar mereka singgah di Mesir dan bertemu wali kota Mesir bernama Syarif Abdullah dengan gelar Sultan Makmun keturunan Bani Hasyim putera Ali Nurul Alim dengan Nyai Lara Santang Puteri Pajajaran. Di Tanah Suci Mekah ini Nyai Lara Santang dinikahkan oleh Ki Samadullah dengan Syarif Abdullah. Setelah menikah dengan Syarif Abdullah, Nyai Lara Santang diberi gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Sedangkan Pangeran Walangsungsang atau Ki Samadullah diberi gelar Haji Abdullah Iman al-Jawi. Di Mekah mereka tinggal di rumah Syeikh Bayanullah adik Syeikh Datuk Kahfi.
Setelah menikahkan adiknya, Haji Abdullah Iman kembali ke Jawa untuk melanjutkan penyebaran agama Islam. Sepulang dari Mekah ini Haji Abdullah Iman al-Jawi mendirikan Masjid Jalagrahan kemudian menjadi Keraton Pakungwati, yang diambil dari nama putri Pangeran Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdulah Iman al-Jawi atau Ki Cakrabumi dari isterinya Nyai Indang Geulis yang bernama Nyai Pakungwati.
Menurut Sunarjo (1983) karena menginginkan putera laki-laki untuk penerusnya, maka atas persetujuan isterinya Nyai Indang Geulis, Haji Abdullah Iman al-Jawi menikahi puteri Ki Gedeng Alang-Alang yang bernama Nyai Ratna Riris atau Nyai Kancana Larang. Dari perkawinan kedua ini, Pangeran Walangsungsang mempunyai putera yang diberi nama Pangeran Cerbon. Setelah meninggal dunia Ki Gedeng Alang-Alang, Haji Abdullah Iman menjadi Kuwu Caruban dengan gelar Pangeran Cakrabuana. Tidak lama kemudian meninggal dunia kakeknya, Ki Gedeng Tapa, Pangeran Cakrabuana menjadi penguasa sekaligus ulama dengan nama wilayah Nagari Caruban Larang (menggabungkan nagari Singapura dan Caruban).
Sementara itu Nyai Lara Santang atau Hajjah Syarifah Muda’im yang menikah dengan Syarif Abdullah melahirkan dua orang putera, yaitu Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung Djati dan Syarif Nurullah. Syarif Hidayatullah ini berguru di Mekah dan Baghdad kepada Syeikh Tajudin al-Kubri, Syeikh Athaillah Syazali, Sayid Alkamil, dan Syeikh Nuruddin Ibrahim Ibnu Maulana Sultan Mahmud al-Khibti. Syarif Hidayatullah pergi ke Jawa dan adiknya, Syeikh Nurullah (menggantikan kedudukan ayahnya yang wafat) yang dikenal dengan nama Faletehan atau Fatahillah.
Dalam perjalanannya ke Jawa, Syarif Hidayatullah sampai di Gujarat dan Banten. Di Banten Syarif Hidyatullah sempat mengajar agama Islam. Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, dapat tugas untuk menyebarkan agama Islam di Jawa bagian Barat, yaitu Tatar Sunda. Kemudian bertemulah dengan Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman al-Jawi dan mengajarkan agama Islam di pelabuhan Muara Djati, Sembung-Pasambangan, dan Giri Amparan Djati. Syarif Hidayatullah menikah dengan Nyai Babadan puteri Ki Gedeng Babadan, menikah dengan Nyai Rara Djati, Ratu Kawung Anten, Ratu Tepasan, dan sorang puteri Cina On Tien.
Menurut Sunarjo (1983) bahwa ke Cirebon telah datang rombongan dari Banten menghadap kepada Sunan Gunung Djati memintanya untuk mengajarkan agama Islam di Banten. Kemudian mengajarkan agama Islam di Banten dan kembali lagi ke Cirebon. Selanjutnya dapat tugas sebagai Raja untuk menggantikan Sri Mangana Pangeran Cakra Buana haji Abdullah Iman al-Jawi di Kerajaan Islam Cirebon yang telah dikuasainya selama 30 tahun. Penobatan Susuhunan Djati sebagai penguasa Kerajaan Islam Cirebon dilakukan oleh para wali yang tergabung dalam Wali Sanga dari Jawa Timur di antaranya Raden Fatah dari Kesultanan Demak yang didampingi oleh Panglima Perang Kesultanan Demak Fadhilah Khan. Peristiwa penobatan Syarif Hidayatullah sebagai Raja Kerajaan Islam Cirebon terjadi pada tahun 1479. Sejak tahun itulah Caruban Larang atau Cirebon menjadi pusat sebuah kesultanan Islam.