Dadang Kahmad, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung
SUNANGUNUNGDJATI.COM – Orang bilang bahwa zaman sekarang adalah zaman diusahakan bukan lagi zaman diberi. Artinya segala sesuatu jika ingin terwujud harus diusahakan tidak diminta.
Kalau zaman dahulu, kekuasaan diturunkan seperti masa kekaisaran atau kerajaan. Namun, zaman sekarang kekuasaan harus diusahakan dengan berbagai cara sehingga berhasil.
Kalau ditarik kepada masalah keagamaan, bisa dikatakan bahwa jika segala sesuatu kebutuhan hidup dapat diusahakan dan diikhtiarkan, fungsi meminta atau berdoa kepada Tuhan itu semakin berkurang.
Manusia memecahkan berbagai masalah dalam hidupnya adalah dengan menggunakan akalnya. Ketika akal sudah terbatas tidak memberikan solusi, barulah mereka berpaling kepada Tuhan untuk meminta bantuannya.
Maka ketika suatu masyarakat semakin maju ilmu pengetahuannya dan semakin luas batas akalnya, masyarakat tersebut makin berkurang kebergantungan pada Tuhannya.
Baca Juga: Makna Fahsya dalam Al-Quran
Sebagaimana hasil penelitian Stephen Bullivant, Guru Besar di St Mary’s University London, bahwa di beberapa negara maju seperti di Eropa Barat, kepercayaan kepada Tuhan semakin menurun.
Banyak penduduk terutama generasi milenial dan generasi Z yang tidak percaya lagi kepada Tuhan sebagai penolong.
Menurut penelitian terakhir pada 2020 di negara-negara Skandinavia, anak-anak muda lebih dari 60 persen sudah tidak mempercayai lagi agama. Bahkan di Cheko, sebanyak 91 persen anak muda mengaku tidak menganut agama tertentu.
Data tersebut diperkuat oleh penelitian Pew Reseach Center yang dirilis pada 2020 dengan judul “The Global God Devided”.
Penelitian itu menyatakan bahwa dari 34 negara yang disurvei dengan pertanyaan apakah kepercayaan terhadap Tuhan masih perlu, masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia dan Filipina, menempati urutan tertinggi yang menjawab masih perlu. Tepatnya 96 persen.
Sementara itu, jawaban masyarakat dari negara maju seperti Italia dan Inggris, hanya 30 dan 20 persen saja. Adapun negara yang paling rendah angka jawabannya adalah Swedia yang hanya 9 persen.
Berarti banyak yang mengatakan tidak perlu agama. Angka dalam penelitian tersebut membuktikan sebuah hipotesis bahwa semakin maju masyarakat di sebuah negara akan semakin berkurang kepercayaan kepada Tuhan. Sebaliknya, semakin rendah kemajuan sebuah negara semakin tinggi kepercayaan kepada Tuhan.
Hipotesis tersebut bukan berarti masyarakat beragama tidak boleh maju atau modern. Namun, mungkin masalahnya ialah bagaimana agama bisa tetap hidup dan berkembang di masyarakat modern.
Sudah harus dipikirkan dari sekarang bagi para penafsir kitab suci ataupun para pemuka agama untuk mendesain ulang ajaran agama yang lahir pada zaman dahulu. Sehingga, menjadi agama yang bisa bersinergi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi.
Baca Juga: Ironi Negeri Muslim Terbesar
Dalam hal ini perlu direnungkan sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah SWT akan mengutus bagi umat ini orang yang akan memperbarui urusan agama mereka pada setiap akhir seratus tahun.”
Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk selalu beradaptasi dengan perubahan zaman.
Maknanya tugas utusan itu adalah menginterpretasi ulang agama sehingga agama tetap menjadi sang pencerah bagi kehidupan manusia pada abad sekarang yang disebut zaman Revolusi Industri 4.0 dengan kemajuan teknologi informasi yang sangat tinggi.***
___
Sumber: Majalah SM edisi 16-31 Oktober 2023