Akhmad Fauzin (Pengendali Media dan Data/Anggota Tim Monev Haji 2024)
SUNANGUNUNGDJATI.COM — Mungkin ada yang berpikir seperti ini, salah satu cara untuk bisa berhaji secara cepat tanpa menunggu antrian lama adalah dengan menjadi petugas haji. Pikiran seperti ini mungkin menarik dari sisi logika, namun bermasalah dari sisi etika. Pikiran seperti di atas adalah menjadikan petugas haji sebagai instrumen untuk berhaji. Haji adalah tujuan utamanya, dan menjadi petugas sekadar alat untuk sampai di tanah suci.
Pertanyaannya, apakah pikiran seperti itu membuat bisa menjadi petugas haji yang baik sekaligus bisa menjalankan ibadah haji dengan khusyuk? Mari menengok apa saja yang dilakukan oleh petugas haji Indonesia di tanah suci.
Setelah mengamati beberapa hari tentang ritme, volume, dan jam kerja para petugas haji, mulai di kantor Daker (Daerah Kerja) sampai dengan di lapangan, saya hanya bisa menggeleng. Betapa berat dan masifnya serta kompleksnya pekerjaan mereka.
Cara kerja para petugas Daker tidak lagi terikat oleh jam. Rapat-rapat mereka bisa berlangsung kapan saja. Para petugas sektor selalu “standby” mengantisipasi hal yang perlu ditangani segera. Para petugas kloter juga tidak bisa jauh di hotel mereka untuk memastikan kenyamanan para Jemaah.
Petugas kesehatan selalu siap menangani adanya pasien yang butuh perawatan setiap saatnya. Konsekuensi dari haji yang memberi prioritas kepada jemaah lanjut usia (lansia) adalah kesiapan untuk menambah “amunisi” khususnya pada aspek pelayanan kesehatan. Sudah dipahami bahwa jemaah lansia tentu selalu terkait dengan jemaah dengan kesehatan Risti (risiko tinggi) karena faktor usia.
Membayangkan kerja petugas akomodasi untuk memastikan kelayakan tempat dari berbagai sisi sesuatu yang sangat kompleks. Mengatur transportasi jemaah yang bergerak terus dengan potensi tercecer dari kelompoknya adalah satu kerumitan. Jadi mari untuk tidak membayangkan bahwa petugas itu dengan mudahnya bisa beribadah ke “Haram”. Mereka berjibaku dengan tugas pokoknya masing-masing tanpa pernah melepas seragam petugasnya.
Tidak jarang dari mereka yang mengalami kelelahan dan pingsan. Bahkan sampai saat ini, sudah ada enam petugas haji yang telah menjadi syuhada, menghembuskan nafas terakhirnya, mengorbankan bukan hanya raganya, tetapi contoh nyata bahwa menjadi petugas haji, jiwa pun menjadi taruhanannya.
Tentu masih banyak cerita heroik yang belum terungkap tentang perjuangan para petugas untuk memaksimalkan ikhtiar mereka demi kepuasan para jemaah. Namun, saya hanya ingin memendekkan ulasan dengan bertanya reflektif. Pernahkah anda membaca sebuah negara dengan jumlah penduduk relatif kecil, misalnya 200an ribu jiwa penduduknya? Seperti itulah mengurus jemaah haji di Tanah Suci, ibarat mengurus sebuah negara dengan jumlah penduduk sekitaran itu. Apalagi saat ini, Pemerintah berhasil mendapatkan quota terbesar dari yang pernah ada, 241 ribu jemaah.
Menjadi petugas di Tanah Suci adalah sebuah kemuliaan yang tak tertandingi. Berhaji adalah ibadah dengan orientasi penghambaan diri yang kental. Menjadi petugas haji adalah penghayatan langsung atas jati diri kehambaan kepada Allah dengan pelayanan pada hamba-hamba Allah yang sedang berhaji.
Jadi identitas petugas haji adalah ikhtiar untuk memberikan pelayanan yang terbaik, bukan memimpikan kesempurnaan pelayanan. Karenanya, menjadi petugas haji yang tulus adalah aksi nyata dari semua prosesi dan ritual haji yang dilakoni seorang hamba selama di tanah suci. Itulah hajinya para petugas, bukan petugasnya yang semata memikirkan dirinya bagaimana bisa berhaji.
Hajinya para petugas adalah pengkhidmatan atas nilai kemanusiaan. Karenanya, kurang tepat untuk mengelompokkan mereka sebagai Haji Abidin, “atas biaya dinas.” Bukan pula Haji Kosasih, “ongkos dikasih.” Kalau pun harus menggelari jenis hajinya, kita sebut saja mereka sebagai Haji Baridin, Haji “barakah dari pengabdian.”