Abdullah Alawi, Kementerian Agama RI
SUNANGUNUNGDJATI.COM — Sekitar tahun 2008, Ismail Asso mendirikan pesantren di daerah Koya Koso, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Papua. Tanah pesantren seluas 2 hektar tersebut merupakan hibah seorang pendeta di Keondoafian Leseng, Papua atas nama Elly Waskai. Tanah tersebut resmi hitam di atas putih pada sertifikat yang ditandatangani pendeta tersebut.
Mulanya pesantren itu akan dibangun di atas tanah seluas 500 meter di daerah lain. Tapi sayang, diserobot orang dari daerah Walesi, kampung Ismail sendiri. Ia sempat mendatangi rumah orang itu dan adu mulut. Tapi kemudian teman-temannya mengusulkan supaya tak mempersoalkan lagi. Mereka mengusulkan untuk mengadu saja ke Keondoafian Leseng, Papua.
Ismail kemudian menemui Pendeta Elly. Ketika diceritakan kronologi peristiwa itu, pendeta Elly mengecam penyerobotan. Tapi menurutnya, daripada ribut dengan saudara sendiri, mending menggunakan tanah Ondoafi saja. Ia menghibahkan 2 hektar dengan gratis, tanpa biaya apapun. Padahal tanah di daerah itu lumayan mahal.
“Hilang 500 m, dapat 2 hektar,” kata Ismail.
Ia bersyukur atas kebaikan Pendeta Elly yang mendukung pendirian pesantren. Padahal tentunya ia tahu tanahnya akan dijadikan tempat pendidikan bagi anak-anak di luar agamanya.
Biaya awal pembangunan pesantren atas bantuan dari keluarga sendiri, sumbangan teman temannya sesama muslim yang sudah bekerja baik swasta maupun pegawai negeri sipil (PNS).
“Orang-orang Islam pendatang juga cukup besar sumbangannya. Ada dari Jawa, Bugis, Makassar, Buton, Ambon, dan Ternate,” katanya.
Pesantren itu dinamainya al-Hidayah, mulai efektif belajar-mengajar pada 2012. Pesantren tersebut baginya adalah pengembangan dari pendidikan Islam yang didirikan marga Asso di kampungnya. Pengembangan sengaja dilakukan di ibu kota provinsi karena di situlah semua keputusan Papua dikeluarkan.
Di sisi lain, ia berharap supaya saudara-saudaranya yang nonmuslim tahu bahwa ada saudaranya, orang Papua sendiri, ada yang muslim dan mengembangkan pendidikannya. Dengan cara semacam itu, ia berharap umat Islam dan pendidikannya terlindungi terayomi.
Selama ini, pendidikan agama di kampungnya, Walesi susah berkembang karena guru-guru yang didatangkan bukan dari luar daerah tidak mampu bertahan lama karena mobilitas terhambat perjalanan yang sukar ditempuh. Lembaga pendidikan agamanya bisa dikatakan hidup segan mati juga tidak mau. Meski demikian, lembaga pendidikan di Walesi tetap dipertahankan. Anak anak yang mau melanjutkan pendidikan bisa pindah ke Al-Hidayah di Jayapura.
“Bila kita hadir di tengah pusat ibu kota provinsi, santri-santri di Walesi kita terbangkan ke Jayapura, tenaga guru-guru cukup tersedia,” katanya.
Pesantren Al-Hidayah, bersama sekitar 5 lembaga pendidikan Islam lainnya mengembangkan pendidikan Islam di Kota Jayapura. Serta 10 lembaga lain di kabupatennya.
Belajar mengaji sampai ke MTQ Nasional
Ismail Asso asli putra Papua kelahiran Dusun Asolipele, Distrik Asolokobal, Kabupaten Wamena pada 5 Mei 1975. Masa kecilnya sempat menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Kristen Katolik (YPPK). Namun sebentar, karena seorang gurunya menganggap ia masih terlalu kecil untuk ke sekolah dengan jarak yang bisa dibilang cukup jauh.
Ketika Ismail kecil, dua orang guru mengajar agama di padang rumput, yaitu Aroby Aituarau dari Jayapura kelahiran Kaimana. Ia dibuatkan gubuk kecil di samping rumah kepala suku Haji Muhammad Aipon Asso. Ia mengajar dari tahun 1977-1978. Setelah ia pulang, pengajaran dilanjutkan Jamaluddin Iribaram dari Kokas Bintuni.
Pada tahun 1978 di kampungnya dibangun Madrasah Ibtidaiyah (MI), sekolah Islam pertama di Wamena dan Pegunungan Tengah Papua. Namanya MI Merasugun Asso. Nama itu dinisbahkan pada seorang Walesi yang pertama masuk Islam.
Bangunan madrasah itu dikembangkan menjadi pendidikan semi pesantren guru-guru dari Jawa dan Bintuni, dan Fak Fak yang datang tahun 1977. Madrasah itu menerima murid angkatan pertama pada tahun 1980. Pagi hari mengajarkan kurikulum umum seperti SD. Sementara sore mengajarkan ilmu agama Islam. Di situlah anak-anak Walesi mengaji, belajar tata cara wudlu, sembahyang bersama kaum bapak. Kemudian mengerjakan sembahyang tarawih pada bulan puasa. Di tempat itu pula anak-anak dikhitan.
Pada tahun 1987, MI tersebut melahirkan alumni pertama. Ismail temasuk alumni kedua. Ia bersama 5 orang temannya yang lain lulus dari madrasah. Pada tahun 1988, saat ia kelas 6, mengikuti Musabaqah Tilawatil Quran tingkat nasional yang berlangsung di Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Ia mendapat juara harapan dua.
Penampilannya sebagai anak Papua asli yang mahir membaca al Quran, mengesankan panitia MTQ sehingga ia diminta memperdalam ilmu agama lebih lanjut. Kemudian ia mondok di Pesantren Al Mukhlisin, Ciseeng. “Dari panitia musabaqah disuruh ngaji. Dikirim ke Al-Mukhlisin, lalu kita dijemput,” terangnya.
Ia menamatkan Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) Al-Mukhlisin Ciseeng Parung Bogor tahun 1991. Kemudian Madrasah Aliyah (MA) Darul Arqom Muhammadiyah Sawangan Bogor 1995. Pada tahun 1996, ia melanjutkan kuliah di Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitar Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Tidak sampai menyelesaikan kuliah di kampus tersebut, aktivitasnya pada tahun 2000-an, malah bolak-balik Papua-Jakarta. Di antaranya mengirimkan saudara-saudaranya ke berbagai pesantren di pulau Jawa.
Ia mulai menetap di Papua tahun 2004. Pilihannya tidak di tanah kelahiran, melainkan di ibu kota provinsi, Jayapura. Pada tahun tersebut, ia membuka pengajian dari satu tempat ke tempat lain di daerah-daerah muslim. Selama beraktivitas ia bercita-cita membangun sebuah lembaga pendidikan sendiri. Cita-citanya itu sering dikemukakan pada halal bihalal sesama muslim, dan pertemuan-pertemuan lain. “Ketika memikirkan itu mudah, tapi dilaksanakannya susah,” katanya.
Setelah mengumpulkan uang, ia membeli tanah di Jayapura seluas 500 m. Tapi diserobot orang. Atas kemurahan Keoondoafian Leseng Papua, ia diberi hibah tanah 2 hektar. Di situlah kini ia mendirikan Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah. Muridnya di dua lembaga pendidikan itu kini sekitar 240 anak. Jumlah muridnya naik turun karena ada saja anak yang tak betah kemudian kembali ke orang tua. Atau pindah sekolah ikut orang tua. Ada juga yang memang pindah dalam rombongan misalnya melanjutkan pendidikan di pulau Jawa, seperti 13 muridnya pindah pada 2013.
Murid-murid sekolah “mengambil” dari keluarga saudara-saudara marga Asso di pegunungan. “Saya minta untuk saya didik dari Yahokimo, Yalemo, Yale Jaya, Pegunungan Bintang, Kabupaten Nduga, Paniai, Dogiai, Nabire,” jelasnya.
Selain saudara-saudaranya, di sekolah itu terdapar anak-anak muslim yang tinggal dekat dengan lokasi Al- Hiidayah. Umumnya anak para transmigran muslim. Selama ini belum ada murid non-muslim di lembaga itu.
Dari 240 sekitar 60-an anak tinggal di asrama. Di antara mereka, sekitar 40 putra dan 20 putri. Untuk makan anak yang tinggal di asrama, ia menanggung setengah mati mencarinya. Tapi bersyukur ia sering dibantu para dermawan perorangan maupun lembaga semisal badan amil zakat daerah. Dulu memang sering dibantu lembaga amal di Freeport, tapi kemudian dihentikan lagi. “Jadi kedodoran dan mengandalkan donatur yang memberikan sumbangan,” katanya.
Tentu hal itu tidak “sehat” karena suatu saat orang akan bosan menyumbang. Ia mencari akal, paling tidak, lauk dan sayur-mayurnya tidak membeli. Ia menganjurkan muridnya menanam sayur dan memelihara ikan tawar di lokasi pesantren.
Meski demikian, keadaan semacam itu tak membuatnya kecil hati. Cita-citanya tetap tinggi. Ia ingin mengembangkan pesantren mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), sampai perguruan tinggi.
Untuk saat ini, ia ingin ada yang menyumbang pembangunan masjid, karena itu kebutuhan sangat penting bagi sebuah pendidikan Islam. Selama ini, tempat beribadah dan mengaji, diselenggarakan di sekolah. Secara bertahap, kemudian memperbesar asrama putra dan putri. Selanjutnnya di tengah-tengah kompleks bangunan itu ada gelanggang olahraga. “Sore anak-anak bisa olahraga. Nanti bisa masuk Persipura,” katanya.
Selama ini, kegiatan mengaji al-Quran dan ilmu- ilmu agama dasar, Al-Hidayah mengadakan kerja sama dengan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Al-Fatah Jayapura.
Ia membayangkan lingkungan bangunan pendi- dikannya bergaya arsitektur Papua asli. Sebab ia ingin Islam hadir di Papua bukan menghancurkan budaya setempat, melainkan saling mengisi dan memperbaiki kekurangannya.
Agama dan pendidikan bagi orang papua
Ditanya soal tantangan membangun pesantren di Papua, ia sudah memperhitungkan. Pasti ada yang tak suka, termasuk orang Papua sendiri. Tapi menurut pengamatan dan pengalamannya, orang Papua memang ada yang fanatik pada agama yang dianutnya. Umumnya tak peduli agama. Jika ada persoalan menyangkut agama, bisa diselesaikan secara adat.
“Ada semacam pameo. Adat ada dulu, baro agama dan pemerintah datang. Ada konflik itu diselesaikan dengan adat,” jelasnya.
Menurut dia, fanatisme agama orang Papua terhadap suatu agama terjadi belakangan. Ia menyebut pada masa Orde Baru hal itu mulai berkembang. Pengalaman orang Papua perantau dan pernah belajar ke pulau Jawa, mereka menyaksikan bagaimana saudara saudaranya seagama susah membangun tempat ibadah. Mulai saat itulah, agama jadi persoalan setelah 1980, hingga saat ini banyak anak Papua belajar islamologi dan kristologi.
Ismail sepakat dengan pendapat Dr. Benny Giai yang melakukan penelitian atas kepemelukan agama orang Papua. Menurut dia, agama bagi mereka adalah jembatan menuju kehidupan ke depan lebih baik.
Menurut Ismail, kehidupan yang baik itu ada dalam pendidikan yang dibawa agama. Dalam hal ini, asal mendapatkan pendidikan untuk anak-anaknya, para orang tua Papua hampir tak memperhitungkan agama. Makanya ketika dia meminta saudara-saudaranya yang marga Asso bergabung ke Al Hidayah, orang tua mereka justru senang, meski di antara mereka ada yang nonmuslim. Hal yang lumrah bagi orang tua untuk membagi anaknya sebagian masuk Islam, Kristen atau agama lain.
“Dulu sekolah saja Belanda itu ditolak di Pegunungan Tengah. Maka dulu mereka bikin rumah sakit dan bandara. Lama kelamaan mereka menyadari pendidikan bisa mengubah hidup anaknya,” jelasnya.
Anak-anak yang dibolehkan belajar di Al-Hidayah diharapkan orang tuanya jadi PNS, anggota DPR dan lain-lain. Begitu juga anak yang dikirim ke sekolah Kristen dengan harapan relatif sama, tapi warga Papua yakin melalui lembaga pendidikan, meski berbeda, tetap berupaya mencapai lebih baik. Keyakinan tidak terlalu diperhitungkan.
“Di Papua lebih formalitas, karena di samping keyakinan lama yang kuat soal Islam dan Kristen itu tidak dipersoalkan. Kalaupun di kemudian hari ada yang mempersolakan, itu adalah orang lain,” katanya.
Meski demikian, ia berupaya berhubungan baik dengan sesama orang Papua nonmuslim, misalnya melalui Forum Kerukunan Umat Beragama. Ia aktif juga di Forum Komunikasi Generasi Muda Papua. Pernah menjadi anggota Forum Kajian Global Korps 1998 2001. Sementara di dalam organiasi Islam, ia masih terlibat sebagai Koordinator Umum Pelajar/Santri Papua se- Jawa-Madura dari 2004 sampai sekarang.