Atep Kurnia, Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang.
SUNANGUNUNGDJATI.COM
Sebelum memasuki bulan Ramadan yang penuh berkah, umumnya orang Sunda disibukkan dengan berbagai kegiatan ritual maupun kultural untuk menyambutnya. Kegiatan tersebut memuncak sehari sebelum kegiatan ibadah puasa dilaksanakan. Ya, itulah munggah puasa.
Dari penelusuran atas kamus-kamus bahasa Sunda, ternyata kata “munggah” ada hubungannya dengan kata “unggah”, bahkan bisa dikatakan dari kata tersebutlah kata “munggah” berasal. Menurut Jonathan Rigg (A Dictionary of the Sunda Language of Java, 1852) kata “munggah” mengandung arti to arise, to come up out of, to be elevated. Kata ini merujuk pada “munggah haji” atau naik haji. Sedangkan kata unggah, ia beri arti to get upon, to mount, dan to come out upon. Dari kata ini Rigg menurunkan kata-kata turunannya: unggah ti cai; caina moal unggah; dan unggahan (mempunyai hubungan terlarang dengan seorang wanita).
Dari Kamus Basa Sunda (1948, 2005) susunan R. Sacadibrata, kata munggah bermakna unggah (yang merujuk pada munggah haji) dan nepi ka (sampai ke). Dan unggah diberinya arti mancat (naik ke tempat yang agak tinggi). Kata-kata turunannya: ngunggahkeun, ngunggahan gunung, ngunggahan (merujuk pada wanita yang meminang laki-laki).
Sementara dalam Kamus Umum Basa Sunda (1976) susunan Panitia Kamus LBSS, memberi arti munggah sebagai unggah yang digunakan untuk merujuk pada dimulainya puasa tanggal 1 Ramadan dan munggah haji. Arti keduanya, nepi ka. Sedangkan, unggah diberi arti mancat yang artinya naik atau masuk ke tempat yang agak tinggi.
Satu lagi dari Sundanese English Dictionary (2003) susunan R. R. Hardjadibrata yang didasarkan atas Soendanees-Nederlands Woordenboek (1984) susunan FS Eringa. Dari kamus ini kata munggah langsung dirujukkan kepada kata unggah yang bermakna to go up, come up, climb up. Kata tersebut menurunkan kata-kata sebagai berikut: unggah ka/kana, unggah kana kapal, unggah ka ranjang (menikah dengan kakak almarhum suami atau istri), unggah pangkat, unggah turun, dan ngunggahan.
Kamus Basa Sunda (2006) susunan R.A. Danadibrata memberi arti munggah sama dengan nepi ka. Turunan kata-katanya: rek munggah (hendak memulai bulan puasa atau lebaran), poe munggah, dan sidekah munggah. Sedangkan kata unggah adalah kata kerja melangkah dari bawah ke bagian yang lebih atas atau tinggi. Kata ini menurunkan: ngunggahkeun imam, unggah balewatangan, unggah ka bale nyungcung (hendak menikah), pangunggahan, kaunggahan paling (termasuki pencuri).
Dengan demikian baik kata “munggah” maupun “unggah” menyiratkan kata kerja naik dari bagian bawah ke atas. Maka bila dikaitkan dengan kata “puasa”, maka hal tersebut bermakna naik ke bulan yang tinggi martabatnya. Oleh karena itu, tidak heran bila sebagian besar orang Sunda menyambut datangnya bulan puasa atau Ramadan dengan semarak. Dan tentu saja kegiatan-kegiatan tersebut pada intinya ditujukan untuk membersihkan diri baik secara jasmani maupun rohani sebelum Ramadan tiba.
Bagaimana gambaran kebiasaan atau tradisi orang Sunda menyambut puasa Ramadan, ada baiknya kita kembali menengok tulisan Haji Hasan Mustapa (Bab Adat-Adat Oerang Priangan djeung Oerang Soenda lian ti eta, 1913: 128-129) dan Mohamad Ambri (“Poe noe Dimoeljakeun koe Oerang Soenda”, dalam Volksalmanak Soenda 1940).
Hasan Mustapa antara lain menyebut-nyebut bahwa tabuhan beduk menandai munggah puasa (“isoekan baris moenggah Poeasa”). Pada hari itu, perempuan dan laki-laki sudah bersiap sedia, sedari subuh berbelanja ke pasar. Di pasarnya ramai lebih dari biasanya, sehingga dinamai sebagai marema (“Poean harita djalma awewe lalaki geus pada tjawis2, pada boga itoengan, soeboeh keneb pada boga balandja ka pasar, rame leuwih ti biasa, ngaranna marema”).
Hal senada disampaikan oleh Ambri, dengan menyatakan “Awewe-awewe pada merloekeun njiar deungeun sangoe pikeun saoer, ngarah ngeunah doemeh saoer mimiti. Di pilemboeran mah nepi ka rea noe ngahagal mareuntjit hajam” (Kaum perempuan sengaja mencari lauk pauk untuk sahur, agar terasa enak sebab sahur pertama. Di perkampungan apalagi banyak orang yang sengaja menyembelih ayam).
Bisa jadi tradisi munggahan di Tatar Sunda bertemali dengan tradisi moenggahan-pasa di Tanah Jawa, sebagaimana yang terbaca dari keterangan Leendert Theodorus Mayer (Een blik in het Javaansche volksleven, Vol. II, 1897: 515). Di situ dikatakan, puasa Islam dimulai pada hari pertama bulan Ramadan, Pasa, atau Siam. Permulaan ini dirayakan pada malam sebelumnya atau juga malam pertamanya dengan sedekah, yang disebut sedekah moenggahan-pasa (“Zooals u bekend is, beginnen de mohammedaansche vasten op den eerste van de plaand Ramadlan, Pasa of Siam. Dit begin wordt den vorigen avond, of ook op den avond van den eersten dag herdacht door een sěděkah, die sedekah moenggahan-pasa wordt genoemd”).
Memang, sebagaimana yang ditulis oleh R.A. Danadibrata, di Tatar Sunda juga dikenal tradisi sidekah munggah saat mulai memasuki bulan Ramadan. Meskipun tradisi tersebut kini agaknya sudah pudar, tetapi kebiasaan bapak-bapak dan ibu-ibu mempersiapkan makanan yang agak mewah untuk sahur pertama tetap berlangsung hingga sekarang.
Sumber, www.forumtbm.or.id