SUNANGUNUNGDJATI.COM — Perubahan yang begitu cepat, ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, memaksa manusia untuk menyesuaikan diri agar tetap eksis. Perubahan dimaksud menjadikan manusia semakin canggih, cerdas dan terampil di satu sisi, namun juga gagap di sisi lainnya.
Salah satu hal yang harus berubah adalah berkenaan dengan manajemen kepemimpinan. Baik paradigma mengenai hidup dan kehidupan, tata kelola dan bagaimana menggerakan orang untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan hanya berbekal pintar saja tidak cukup, harus dilapisi dengan keunggulan pribadi, mental dan karakter. Dalam perspektif manajemen modern yang sedang dikembangkan adalah perlunya integritas.
Pengetahuan (knowledge) bisa dipelajari oleh siapapun dan bisa ditarget dalam durasi waktu tertentu; termasuk dalam soal teori-teori manajemen dan kepemimpinan, dan hal ikhwal yang melingkupinya. Namun soal sikap (attitude) harus dilatih dan dibiasakan, membutuhkan waktu yang lama. Dalam Bahasa lain soal karakter, moral atau akhlakul karimah.
Dalam Pendidikan, kita mengenal Taksonomi Bloom, yaitu tiga ranah yang harus dikuasai menjadi kompetensi, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Lembaga-lembaga pendidikan formal, termasuk beragam model pelatihan biasanya sangat mudah mencapai ranah kognitif dan psikomotorik, namun sulit mencapai ranah afektif.
Banyak pemimpin yang sangat pandai dan trampil menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan. Terlihat piawai memenej dan menggerakan angotanya untuk mencapai tujuan organisasi. Namun belakangan dia kurang berhasil membangun trust di mata public, kerap terperosok melakukan hal-hal yang kurang terpuji.
Sementara itu, Lembaga Pemerintahan, masih mendapatkan tantangan dalam penyelenggaraannya. Praktik penyalahgunaan wewenang, gratifikasi, suap, tindakan melanggar hukum, dan segala hal yang berpotensi merugikan keuangan negara. Dengan Bahasa lain, KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), masih terus terjadi, yang diakibatkan diantaranya karena rendahnya integritas aparaturnya.
Antara pola pikir dan prilaku sering tidak sesuai. Sehingga menyebabkan dia tidak bisa dijadikan sebagai role model (uswah hasanah), bagi orang yang dipimpinnya. Organisasi terancam ke jurang kehancuran, karena dipimpin oleh orang yang tidak berintegritas.
Korupsi telah menjadi musuh bersama (common enemy) bangsa dengan penduduk kurang lebih 280 juta jiwa. Kejahatan ini dapat dikatakan sebagai extra ordinary, yang harus diberantas dengan pendekatan yang luar biasa.
Indeks Persepsi Korupsi tahun 2021, menunjukan bahwa Indonesia, mendapat skor (IPK) 37 dari 100. Berdasarkan laporan Transparency International pada 2022, Indonesia menjadi negara terkorup ke-5 di Asia Tenggara. Indeks persepsi korupsi Indonesia mencapai 34, dari skala 0-100. Skor ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki tingkat korupsi yang dianggap signifikan, namun terdapat upaya yang dilakukan untuk memerangi korupsi.
Essay singkat ini akan membahas tentang bagaimana menjadi pemimpin yang berintegritas di tengah perubahan. Karena negara yang hebat harus dibangun oleh orang-orang yang berintegritas, apalagi wajah para pemimpinnya.
Keniscayaan Integritas
Kata integritas berasal berasal dari Bahasa Latin “Intiger” yang berarti, utuh dan lengkap. Integritas membutuhkan perasaan batin, yang mengungkapkan integritas dan konsistensi karakter. Kenneth Boa, Presiden dari Pelayanan Refleksi di Atlanta, mengatakan bahwa integritas sebagai kebalikan dari kemunafikan. Orang munafik tidak memenuhi syarat untuk memimpin orang lain, dibandingkan kepribadiannya yang lebih tinggi. Kejujuran diperlukan untuk semua orang, bukan hanya pemimpin, tetapi mereka yang dibimbing.
Andreas Harefa mendefinisikan integritas sebagai tiga hal yang selalu dapat kita pegang teguh; tetap berkomitmen, jujur, dan melakukan sesuatu secara konsisten. Integritas menjadi indikator pertama yang harus dimiliki oleh ASN, yang kemudian dilanjutkan dengan profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (UU Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara).
Sebuah sistem yang memiliki integritas yang baik akan mendorong terciptanya akuntabilitas, integritas itu sendiri, dan transparansi (Aulich, 2011). Bahkan Ann Everett (2016), yang berprofesi sebagai Professional Development Manager at Forsyth Technical Community College, mempublikasikan pendapatnya pada digital platform LinkedIn bahwa, walaupun akuntabilitas dan integritas adalah faktor yang sangat penting dimiliki dalam kepemimpinan, integritas menjadi hal yang pertama harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang kemudian diikuti oleh akuntabilitas.
Adrian Gostick dan Dana Telford (2003) dalam bukunya “The Integrity Advantage” mendefinisikan perilaku berintegritas dalam 10 karakteristik, adalah: (1). Menyadari bahwa hal-hal kecil itu penting. Seseorang yang berintegritas tidak berbohong pada hal-hal kecil sehingga tidak mudah dirusak oleh godaan yang lebih besar; (2). Mampu melihat “putih” ketika orang lain melihatnya “abu-abu”. Seseorang yang berintegritas akan memutuskan yang benar tanpa keraguan; (3). Bertanggungjawab; (4). Menciptakan budaya kepercayaan; (5). Menepati janji; (6). Menjaga kata-katanya dan bertindak sesuai apa yang dikatakan; (7). Peduli terhadap kebaikan; (8). Jujur dan rendah hati; (9). Bertindak seperti mendapatkan pengawasan melekat; (10). Memperkerjakan orang berintegritas dan mengapresiasinya.
ASN yang berintegritas akan berbanding lurus dengan akuntabilitas. Dalam banyak hal, kata akuntabilitas sering disamakan dengan responsibilitas atau tanggung jawab. Namun pada dasarnya, kedua konsep tersebut memiliki arti yang berbeda. Responsibilitas adalah kewajiban untuk bertanggung jawab yang berangkat dari moral individu, sedangkan akuntabilitas adalah kewajiban untuk bertanggung jawab kepada seseorang/organisasi yang memberikan amanat.
Dalam konteks ASN Akuntabilitas adalah kewajiban untuk mempertanggungjawabkan segala tindak dan tanduknya sebagai pelayan publik kepada atasan, lembaga pembina, dan lebih luasnya kepada publik (Matsiliza dan Zonke, 2017).
Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2021 tentang Kebijakan ASN yang Bersih dan Akuntabel Amanah seorang ASN dilahirkan untuk menjamin terwujudnya perilaku yang sesuai dengan Core Values ASN BerAKHLAK. Dalam persepektif akuntabilitas, perilaku tersebut adalah: (1). Kemampuan melaksanakan tugas dengan jujur, bertanggung jawab, cermat, disiplin dan berintegritas tinggi; (2). Kemampuan menggunakan kekayaan dan barang milik negara secara bertanggung jawab, efektif, dan efisien; (3). Kemampuan menggunakan Kewenangan jabatannya dengan berintegritas tinggi
Integritas dan akuntabilitas adalah dua prinsip yang harus menjadi landasan dasar dalam administrasi publik, yang harus dijunjung tinggi dan dipatuhi oleh pejabat publik dalam melayani kesejahteraan umum (Matsiliza dan Zonke, 2017). Menurut Matsiliza dan Zonke (2017), integritas dan akuntabilitas tersebut paling baik dipertahankan melalui peningkatan sistem secara utuh yang didukung dengan ketentuan hukum, perundang-undangan, kebijakan dan protokol kelembagaan.
Menurut hemat penulis, integritas harus dikembangkan melalu pendidikan dan pelatihan. Dari mulai pemahaman, keyakinan, ketrampilan hingga keberpihakan. Sebuah nilai yang harus masuk ke relung hati dan mampu diimplementasikan secara natural. Dalam bahasa agama, integritas adalah akhlak. Ibnu Miskawaih dalam “Tahdzib al-Akhlaq”, menjelaskan mengenai akhlak, adalah sifat-sifat yang melekat pada jiwa manusia dan mempengaruhi tindakan dan perilaku.
Pemimpin Berintegritas
Menjadi pemimpin yang berintegritas menjadi sebuah keharusan. Bukan hanya untuk kepentingan diri, tetapi untuk kepentingan lembaga bahkan bangsa dan negara. Anggaran yang bermilyard-milyard harus dikelola dengan baik melahirkan kebijakan dan program untuk kepentingan public. Pemimpin memegang peran penting untuk mengawal program-program yang berpihak kepada rakyat.
Stephen R. Covey dalam bukunya The 8th Habits, menyebut ada empat peran kepemimpinan; Pertama, Modelling, yaitu peran pemimpin dalam memberikan contoh yang baik kepada anggota kelompoknya. Modelling merupakan cara yang efektif untuk membentuk anggota tim hebat. Kedua, Pathfinding adalah seorang pemimpin adalah penentu arah. Ia yang berperan menentukan visi, misi, dan strategi yang kemudian dibagikan kepada anggota timnya;
Ketiga, Aligning, yaitu merupakan proses terus menerus bagi peran pemimpin. Dalam peran aligning, seorang pemimpin bertugas menjaga tim agar tetap sejalur dengan visi yang ingin diraih bersama; Keempat, Empowering, yaitu memberdayakan. Peran pemimpin fokus pada pengembangan bakat anggota, memberikan kepercayaan serta tanggung jawab, dan membantu anggota jika diperlukan.
Empat peran di atas sangat efektif, jika pemimpin yang kita miliki adalah yang memiliki integritas unggul, profesional dan memiliki keberpihakan kepada yang membutuhkan. Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) II, digagas oleh Lembaga Administrasi Negara bersama Balitbang dan Diklat Kementerian Agama, menjadi instrumen penting, untuk meningkatkan kapasitas para penyelenggara negara, agar tumbuh menjadi pribadi yang berintegritas. Transfer of knowledge dipadukan dengan transfer of value agar mereka bisa mengimplementasikan integritas, di wilayah kerjanya masing-masing.
Pada saat yang sama diperlukan upaya serius penciptaaan budaya integritas, saling menguatkan agar orang itu jujur dan berintegritas. Regulasi yang segudang, kurang bisa menjawab masalah, jika tidak diikuti dengan caracteristic building. Para penentu kebijakan dan masyarakat harus bersinergi dalam melakukan pengawasan, saling asah, asih dan asuh agar masyarakat menjadi sehat, dijauhkan dari praktek-praktek korupsi.
Pemimpin berinegritas dan akuntabel adalah orang yang siap berada di garda terdepan, melakukan pemberantasan korupsi, terutama dari sisi pencegahan dan pendidikan. Kemenag dipandang sebagai Satuan Kerja yang besar dan memiliki masalah yang kompleks, termasuk mengelola anggaran negara yang besar.
Dalam konteks ini, mendidik para aparaturnya menjadi sangat strategis. Sehingga anggaran negara yang besar, bisa dioptimalkan untuk meningkatkan akses dan mutu pendidikan, menjaga harmonisasi umat, pelayanan haji dan umroh, meningkatkan kulitas wakaf dan zakat dan pelbagai layanan umat lainnya pada Kementerian Agama.
Wujud konkrit dari Pemimpin Berintegritas, termanifestasi dalam empat peran; Pertama, Role Model. Pemimpin berintegritas memiliki peran sebagai role model ekosistem integritas, yaitu sebagai tauladan (modelling), dalam cara berfikir, bersikap, dan berperilaku maupun bekerja yang baik dan benar.
Pemimpin tertinggi sekaligus pemegang kebijakan tertinggi, harus menjadikan diri sebagai pemberi contoh, dalam menjalankan program-program, secara serius. Misalkan dalam konteks menjalankan program peningkatan perluasan akses dan mutu pendidikan Islam, di lingkungan Kementerian Agama. Penyaluran bantuan sosial pendidikan, Kartu Indonesia Pintar Kuliah, Bantuan Sarpras hingga Pembangunan Sarana Pendidikan dengan SBSN (Surat Berharga Syariah Negara) harus dikelola dengan baik, oleh penyelenggara negara yang berintegritas.
Kedua, Katalisator. Pemimpin Berintegritas memiliki peran sebagai katalisator (penghubung) ekosistem integritas, yaitu meyakinkan kepada seluruh anggota organisasi dan para pemangku kepentingan, tentang pentingnya perubahan ke arah yang lebih baik untuk terwujudnya ekosistem integritas.
Pemimpin Berintegritas adalah figur yang harus kompeten dan meyakinkan akan laku lampah integritas. Para aparatur sipil negara yang telah bermetamorfosisi menjadi Pemimpin Berintegritas, harus meyakinkan publik, bahwa kita harus berubah menciptakan banyak orang jujur dan adil, sehingga layak menjalankan uang negara dengan baik.
Ketiga, Problem Solver; Pemimpin Berintegritas memiliki peran sebagai pemberi solusi dalam ekosistem integritas yaitu sebagai pemberi alternatif pemecahan masalah atau kendala yang dihadapi anggota organisasi dan para pemangku kepentingan dalam membangun ekosistem integritas, menuju Indonesia yang maju dan berdaya saing.
Konflik kepentingan, godaan atas uang, fasilitas dan hadiah untuk tegak menjadi penyelenggara negara dan tak kalah pentingnya menghadapi dilema integritas akan dapat teratasi dengan hadirnya Pemimpin Berintegritas. Pemimpin Berintegritas akan melakukan kajian, identifikasi masalah, dan memberikan solusi agar semua orang menjadi baik, jujur dan adil, tidak melakukan praktek-praktek koruptif.
Keempat, Mediator; Pemimpin Berintegritas memiliki peran sebagai mediator Ekosistem Integritas yaitu melancarkan proses perubahan para pihak serta sebagai penghubung antara pegawai dengan pengambil kebijakan agar komunikasi berjalan dengan baik dalam organisasi sehingga terwujud ekosistem integritas.
Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) menjadi bekal terbaik, bagi para pejabat, agar lebih amanah dengan segudang khidmah. Menjadi orang baik tidaklah cukup, tetapi harus dilatih terus menerus sebagai pengingat dan refleksi agar tetap menjadi aparatur yang berintegritas. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Ruchman Basori (Peserta Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat II, Angkatan XXVII Tahun 2024 dan Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama)