A. Rusdiana, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung
SUNANGUNUNGDJATI.COM — Sebuah keniscayaan bagi kita untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan dan rasa syukur kita kepada Allah SWT yang telah memberikan berbagai nikmat yang tak bisa kita hitung satu persatu. Perlu kita sadari bahwa nikmat dari Allah ini bukan hanya dalam bentuk materi saja. Nikmat kesehatan, kesempatan, Islam dan iman lebih berharga dari sekedar nikmat materi atau harta yang kita miliki.
Pada suasana masih bulan Dzulhijjah/bulan Qurban Bulan Barokah ini. Oleh karena itu qurban adalah Sunnah yang bersifat tahunan, bagi yang mampu melaksanakannya. Dan bagi yang memiliki harta sedangkan dia tidak mau berkurban, maka hukumnya adalah makruh lagi tidak disuka. Bahkan Rasulullah pernah mengancam agar orang ini tidak mendekati musholla tempatnya melaksanakan shalat id itu.
Bayangkan, bagaimana rasanya jika harta banyak namun tidak bisa menikmatinya karena sakit-sakitan. Bagaimana rasanya jika jabatan tinggi namun hati tidak merasa tenang. Oleh karenanya, sebagai seorang makhluk, kita harus menyadari bahwa ada yang memiliki segalanya dari kita dan berhak atas segala perjalanan kehidupan kita di dunia ini yakni sang khalik, sang Pencipta, Allah SWT.
Islam sebagai Agama yang komprehensif tentu memiliki aturan untuk mengatur segala aspek kehidupan. Tidak hanya yang berbentuk Ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah saja, akan tetapi juga dalam hal-hal yang bersifat muamalah.
Lalu bagaimana pandangan Islam terhadap Harta?
Konsep mengenai harta dan kepemilikan merupakan salah satu pokok bahasan yang sangat penting dalam Islam. Harta atau dalam bahasa arab disebut al-maal secara bahasa berarti condong, cenderung atau miring. Sedangkan secara istilah diartikan sebagai segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya. Padahal Islam mengajarkan bhwa pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda, adalah Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia itu hanya relatif, yaitu sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya. Dalam Al-Qur’an hal ini sudah dijelaskan pada firman-Nya:
آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ ۖ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
Artinya: “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka, orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya mendapatkan pahala yang besar.” (QS. al-Hadiid [57]:7).
Ayat di atas, menunjukkan kekuasaan Allah SWT., Bahwa “Dia menghidupkan dan mematikan. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Allah adalah Pencipta semua makhluk, karena itu hanya milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi serta semua yang ada di antara keduanya”.
Dalam pandangan Islam status harta yang dimiliki manusia dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, antara lain:
Yang Pertama, Harta itu sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Kita manusia hanyalah pemegang amanah karena memang kita tidak mampu mengadakan benda dari yang tiada menjadi ada. Mengutip pendapat Einstein, manusia tidak mampu menciptakan energi; yang mampu manusia lakukan adalah mengubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi lain.
Pencipta awal segala energi adalah Allah SWT. Itulah sebabnya pada akhirnya ketika kita mati semua yang kita miliki akan kembali kepada-Nya.
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ ، يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ ، وَيَبْقَى عَمَلُهُ
Artinya: “Dari Anas bin Malik r.a. ia berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “Yang mengikuti mayit sampai ke kubur itu ada tiga hal, yang dua akan kembali, dan yang satu tetap bersamanya dikubur. Yang mengikutinya adalah keluarganya, hartanya dan amalnya. Yang kembali adalah keluarganya dan hartanya. Sedangkan yang tetap bersamanya dikubur adalah amalnya” (HR. Bukhari, no. 6514; Muslim, no. 2960).
Yang Kedua, Harta sebagai perhiasan hidup. Hal ini memungkinkan manusia untuk menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Itulah sebabnya harta menjadi magnet yang luar biasa bagi manusia, sehingga manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai dan menikmati harta. Sebagaimana firman-Nya yang artinya:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran [3]: 14).
Yang Ketiga, Harta sebagai bentuk ujian keimanan. Hal ini berkaitan dengan cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam ataukah tidak. Allah SWT berfirman:
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Arinya: “Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. al-Anfaal [8]: 28).
Oleh karena itu, orang yang miskin jangan bersedih dan jangan sesali diri hanya karena kekurangan harta. Sebaliknya yang kaya janganlah bangga dan jangan membusungkan dada hanya karena kelebihan harta. Ingat, harta itu hanya bentuk ujian keimanan kita. Derajat manusia di sisi Allah bukan dilihat dari banyaknya harta, anak dan pengikut. Akan tetapi dimuliakan manusia di sisi Allah hanya karena taqwanya.
Yang Keempat, Harta itu sebagai bekal ibadah. Harta yang digunakan untuk melaksanakan perintah-Nya dan muamalah di antara sesama manusia, melalui zakat, infak dan sedekah. Allah SWT berfirman:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS.At-Taubah [9]:41). Serta “Dan bersegeralah kamu menuju kepada ampunan dari Tuhanmu dan juga kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 133–134).
Lalu bagaimana proses kepemilikan harta harus diperoleh secara benar? Harta dapat dimiliki melalui usaha (a’mal) atau mata pencaharian (ma’isyah) yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya.
Banyak ayat Al-Qur’an dan hadits nabi yang mendorong umat Islam mencari nafkah secara halal. Misalnya dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik…” (Al-Baqarah:267).
Dan juga hadits Nabi Saw.: “Sesungguhya Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja. Barang siapa yang bekerja keras mencari nafkah yang halal untuk keluarganya maka ia sama seperti mujahid di jalan Allah.” (HR Ahmad).
Oleh karena itu, kita dilarang mencari harta, berusaha, atau bekerja yang dapat melupakan kematian, melupakan dzikrullah (tidak ingat kepada Allah dengan segala ketentuan-Nya), melupakan shalat dan zakat, serta memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takaatsur: 1–2).
Harta yang diperoleh dengan susah payah lalu hanya ditumpuk dan disimpan saja serta tidak disedekahkan akan menjadi ular lalu memakan orang yang menumpuk hartanya itu. Syekh Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi dalam kitabnya Fadhilah Sedekah, menerangkan hal tersebut merujuk pada kitab Shahih Bukhari disebutkan tentang hadits Rasulullah SAW.
“Tidaklah pemilik harta simpanan yang tidak melakukan haknya padanya, kecuali harta simpanannya akan datang pada hari kiamat sebagai seekor ular jantan aqra’ yang akan mengikutinya dengan membuka mulutnya. Jika ular itu mendatanginya, pemilik harta simpanan itu lari darinya. Lalu ular itu memanggilnya, “Ambillah harta simpananmu yang telah engkau sembunyikan! Aku tidak membutuhkannya.” Maka ketika pemilik harta itu melihat, bahwa dia tidak dapat menghindar darinya, dia memasukkan tangannya ke dalam mulut ular tersebut. Maka ular itu memakannya sebagaimana binatang jantan memakan makanannya”. [HR Muslim no. 988].
Setelah itu, Rasulullah membaca surat Ali Imran ayat 180.”
“Dan sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu lebih baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di leher mereka kelak pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah segala warisan yang ada dilangit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Di akhir khutbah ini mari kita renungkan Al-Qur’an Surat Ath-Tholaq ayat 2-3:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ (3
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar (2). Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. (3)”
Ayat ini memberikan petunjuk kepada kita bahwa jika kita ingin hidup dalam ketenangan maka hiduplah dalam ketakwaan dengan menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Selain akan diberikan ketenangan hidup dan jalan keluar dari segala permasalahan di dunia, jika kita bertakwa, kita juga akan diberi rezeki dari arah yang tidak kita duga-duga.
Jika kita betul-betul percaya (tawakal) kepada Allah, sungguh Allah akan memberikan kita rezeki seperti burung yang pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali pada sore harinya dalam keadaan kenyang. Yakinlah, Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.
Marilah kita belanjakan harta pemberian Allah ini secara baik selagi kita masih nenguasainya. Jangan sampai timbul penyesalan yang panjang pada diri kita dengan mengatakan, “ya Allah, seandainya Engkau berikan kepada kami kesempatan hidup sekali lagi, pasti kami akan bersedekah dengan harta kami”. Inilah bentuk penyesalan hidup yang tiada akan berakhir. Wallahu A’lam.