Moeflich Hasbullah, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
SUNANGUNUNGDJATI.COM
Kaget dari dunia polos yang bersih ke dunia tak polos, ke fakta kehidupan. Menariknya, ketika berhubungan dengan agama sebagai panduan akhlak-moral dan pedoman hidup.
Umrah 2011. Shalat subuh di Masjid Nabawi yang khusyu dan menggetarkan, masjid Rasulullah SAW yang agung. Masjid sangat bersejarah dalam kelahiran Islam, agama terbesar dunia. Betapa bahagia dan berkesannya bisa shalat di masjid maha mulia itu. Pulang, nyari-nyari sandal, hilang 😁. Sangat ingat disimpan di rak masuk masjid itu, sudah tak ada. Kok bisa? 😳. Sebagai orang polos, bingung, tak mengerti. Ini masjid Nabi. Ya sudah.
Depan Ka’bah. Sekitar 30 meter. Seusai shalat dhuhur. Niat kuat ingin mencium Hajar Aswad. Begitu shalat selesai, “bruuuk … !! ribuan jamaah langsung menyerbu batu sorga itu. Tak ada tertib dzikir dulu. Rebutan. Berdesakan. “Waaahh …” hati saya miris. Bismillah, saya maju ikut berdesakan. Tiba-tiba, di tengah desakan, beberapa orang menawari jasa. “Ayo Pak, kami bantu.” Wah malaikat nih, alhamdulillah, pikir saya. Saya pun dibantu berjuang penuh semangat berdesakan untuk bisa menciumnya. “Baca do’a dan shalawat Pak.” Kopiah copot melintas ke beberapa punggung dan pundak jamaah. Terambil kembali. Alhamdulillah berhasil mencium batu yang diprotes Umar bin Khattab itu. Setelah mencium, lalu mundur bertenaga lagi. “Sujud syukur Pak,” kata “tim malaikat” itu. Saya pun melakukannya. Lalu duduk berama mereka, ada empat orang. “250 real Pak,” katanya. “Hah? Maksudnya apa?” Saya kaget merasa dijebak dalam jebakan syar’i. “Iya segitu jasanya.” Saya gak bawa uang sebanyak itu dan menolak. Tawar menawar. Mereka keukeuh. “Saya gak tahu dan gak minta. Nih ada 30 real disaku, terserah!” Kata saya tegas, merela pasrah. Saya merenung dan baru paham, ternyata ada usaha jenis itu. Mereka orang-orang Banjar Kalimantan yang lama menghuni Mekkah. Setelah pulang, banyak cerita, jangankan itu, di depan Ka’bah, rumah Allah yang suci, agung dan mulia itu, copet juga ada, katanya.
Tadi subuh. Shalat berjamaah di sebuah pesantren, melebur bersama ratusan santri. Setelahnya, dzikir lama, baca surat Yasin, suara bergemuruh. Asyik. Pulang, sandal bagus hilang. Dicari-cari, tak ada. Saya senyum. Barusan tuh dzikir menggema. Kok bisa 😁. Ah dasar santri, Sumpah hayang neke! 😊. Pantes, semua santri bawa kantong keresek masing-masing. Ya sudah, nyeker ke tempat nginep.
Tapi sandal mah terlalu kecil dan terlalu biasa. Ingat sahabat Nabi super jahil yang sering membuat Nabi kesel, terhibur dan tertawa, Nu’aiman bin Amr bin Amr bin Raf’ah. Dia mah, unta tamu pembesar Nabi saja disembelih 😄. Kayaknya, dialah rajanya santri jahil di dunia Islam.
Mekkah, Madinah, masjid dan pesantren pasti banyak menyimpan cerita kenangan. Buat para santri tidak aneh. Dari keagungan, ketersentuhan, yang lucu-lucu hingga kejahilan-kejahilan.
Setan jahil ada dimana-mana. Di tempat-tempat ibadah tidak steril bahkan mungkin lebih banyak karena itu lahan amal mereka menggoda manusia. Ini dunia bukan di surga. Di masjid dan pesantren, santri itu masih suci. Di luar sana, kerja setan sudah ringan karena banyak manusia yang sudah menggantikan perannya, yang juga dicontohkan para pejabat negara ***