SUNANGUNUNGDJATI.COM-Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah merupakan sultan sekaligus ulama besar di Cirebon. Ia juga bagian dari Wali Songo, penyebar agama di Nusantara, khususnya Jawa.
Sunan Gunung Jati dikebal publik sebagai pemimpin yang arif dan bijaksana. Bukti kepemimpinannya berhasil, banyak peninggalannya yang hingga saat ini masih dilestarikan dan diamalkan.
Selain peradaban pembangunan, Sunan Gunung Jati juga meninggalkan kebaikan yang dituangkan dalam turur atau jawokan dalam istilah masyarakat Cirebon.
Masyarakat Cirebon mengenalnya dengan wasiat Sunan Gunung Jati. Ada dua wasiat yang masih dijaga dan diamalkan keturunannya dan masyarakat Cirebon.
Berikut dua wasiat Sunan Gunung Jati yang populer di tengah masyarakat Cirebon:
1. Ingsun Titip Tajug lan Fakir Miskin
2. Sugih Bli Rerawat, Mlarat Bli Gegulat
Pertama, Ingsun Titip Tajug lan Fakir Miskin secara harfiah arti dari wasiat berarti, saya titip tajug (istilah mushola atau langgar yang dipergunakan pula buat sholat dan mengaji di Cirebon) dan fakir miskin
Lewat wasiat tersebut, Syekh Syarif mengajarkan publik untuk saling menjaga rumah ibadah atau tempat tempat pendidikan.
Tak heran Sunan Gunung Jati meninggalkan jejak bangunan masjid, langgar, petilasan dan tempat lainnya berkaitan dengan Tajug.
Bahkan mahar Sunan Gunung Jati kepada istrinya, Nyi Pakungwati dihadiahkan Masjid Pakungwati yang saat ini bernama Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Kemudian Sunan Gunung Jati mengajarkan tentang bagaimana membantu masyarakat fakir dan miskin. Artinya, bagi yang mampu wajib mengangkat yang lemah secara ekonomi maupun politik.
Poin inti dari wasiat Sunan Gunung Jati adalah keberadaan tajug dan fakir miskin sebagai ruang ibadah sekalgus pendidikan dan ekonomi harus senantiasa dijaga dan diperhatikan.
Kendati tidak sepopuler bila dibandingkan wasiat pertama di atas, sebagian masyarakat Cirebon juga mengenal mutiara pesan lain yang juga diyakini bersumber dari Syekh Syarif Hidayatullah.
Pesan kedua tersebut berbunyi, Sugih Bei Rerawat, Mlarat Beli Gegulat. Artinya, kaya bukan untuk pribadi, miskin tidak untuk menjadi beban bagi orang lain.
Jadi bagi masyarakat Cirebon, ketika diberi rezeki lebih berarti ada hak yang dimiliki orang lain khususnya fakir dan miskin.
Kemudian ketika belum mendapatkan rezeki yang cukup, maka tidak boleh mebebabkan orang lain. Apalagi melakukan hal yang menyimpang dari norma sosial dan agama.
Dua wasiat yang ditururkan turun temurun itu merupakan pesan Sunun Gunung Jati yang cukup midah dipahami dan mengena. Keduanya saling menguatkan.
Pertama, selain mengingatkan masyarakat supaya menghidupi tempat ibadah dan majelis tempat menimba ilmu, juga mendorong golongan mampu untuk senantiasa memiliki empati dan kepedulian kepada fakir miskin atau kelompok lemah.
Sementara pesan kedua, secara tersirat menekankan supaya golongan lemah yang mendapatkan uluran tangan atau santunan dari orang lain tidak menjadi bergantung selamanya.
Melainkan mereka nantinya juga dituntut bisa mengembangkan kehidupan yang mandiri dalam berbagai aspeknya.
Banyak pesan lainnya yang dituturkan Sunan Gunung kepada masyarakat dalam berbagai bentuk, baik simbol budaya, tutur, jawokan dan lainnya.**