Menu

Mode Gelap

Edukasi · 24 Jan 2023 ·

Wafatnya Sang Calon Profesor Pertama Alumnus La Tansa


 Wafatnya Sang Calon Profesor Pertama Alumnus La Tansa Perbesar

(In Memoriam Dr. H. Dindin Jamaluddin, M.Ag. bin Prof. Dr. H. Hendi Suhendi)

Oleh: Nurman Kholis (Alumnus Pertama La Tansa/ Cikal 1994)

SUNANGUNUNGDJATI.COM

Kaget. Lemas. Tertegun. Menghela nafas cukup panjang. Beberapa kondisi secara mental yang berpengaruh kepada fisik itu muncul secara beriringan. Hal ini saya alami setelah membaca informasi tentang wafatnya Dindin Jamaluddin dalam grup whatsapp Komunitas Alumni La Tansa (KAL), Selasa pagi ini (24 Januari 2023).

Dindin adalah adik kelas saya waktu mondok di La Tansa yang berlokasi di Lebakgedong, Cipanas, Lebak, Banten. Pada tahun ajaran 1993-1994, saat saya duduk di kelas 6 (kelas 12) SMA La Tansa, ia baru duduk di kelas 1 SMP.

Meskipun bertemu waktu mondok selama setahun dan beda lima tingkat, kami cukup dekat. Kedekatan ini secara umum karena dua faktor. Pertama, sesama satu konsulat Parahiyangan (saya dari Sukabumi, Dindin dari Bandung). Kedua, waktu semester ganjil tahun ajaran 1993, kami sama-sama berasrama di Gedung Ibnu Sina Lantai I. Meskipun berbeda kamar, Dindin sering bermain bersama teman-teman sekelasnya yang sebagiannya sekamar dengan saya. Sesekali saya dan Holis Santosa, teman sesama kelas 6 lainnya yang sekamar, juga makan bersama Dindin dan teman-teman sekelasnya itu.

Adapun teman-teman seangkatannya antara lain KH Aan Kurnia/ Apoy (gitaris dan pencipta lagu grup Band Wali dan sekarang menjadi salah seorang pimpinan pesantren La Tansa), Ahmad Munawar, MA (Pentashih pada Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, lembaga unit eselon I yang juga tempat saya berkiprah dari tahun 2007 hingga 2021, dan Dr. Shiddiq al-Hakim yang berkiprah pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), tempat saya berkiprah selanjutnya sejak 1 Januari 2022 hingga kini). Selain Shiddiq, teman seangkatan Dindin lainnya yang juga berkiprah di BRIN, Lina Herlina.

Selama 1 tahun sering bertemu dan sesekali ngobrol dengan Dindin saat mondok (1993-1994), saya juga jadi mengetahui. Ia adalah putra kedua Pak Hendi Suhendi. Saat itu ia menjabat Wakil Dekan Fakultas Syariah UIN Sunan Gunung Jati Bandung. Seingat saya, meskipun menduduki jabatan tersebut, Pak Hendi saat menengok Dindin, pernah menggunakan kendaraan umum dari Bandung dengan bis, angkot, dan mobil omprengan hingga sampai ke lokasi pesantren di pelosok Banten ini. Mungkin di lain hari, beliau juga gunakan kendaraan pribadinya, waktu sedang tidak saya lihat.

Pada 8 Juni 1994, saya bersama 40 orang teman seangkatan lulus sebagai alumni pertama La Tansa. Saya melanjutkan mesantren khusus kitab kuning di Cimahi (hingga 1995) dan kuliah di Bahasa Jerman D3 dan ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (1995-2001). Saya sekali atau dua kali dari tahun ke tahun itu, berkunjung ke La Tansa.

Karena itu, saat berkunjung ke La Tansa sebagai alumni, saya pun bertemu hingga ngobrol dengan Dindin, saat ia duduk di kelas 2 hingga kelas 6 jelang ia lulus pada tahun 1999.

Pada malam jelang esoknya Dindin akan mengikuti wisuda sebagai alumni 1999 (Assalam), ia yang pernah jadi juara kelas dan Kepala Bagian Penggerak Berbahasa pun curhat kepada saya. Hal ini karena informasi yang diperolehnya, ia akan mendapatkan “jayyid” (baik), yudisium di bawah Mumtaz (istimewa) dan jayyid jiddan (baik sekali). Saya pun menimpalinya. Jika lulus dari La Tansa dengan peringkat jayyid, maka nanti pas di luar, in sya Allah Dindin menjadi mumtaz.

Dindin pun melanjutkan kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Karena itu, saya yang juga kuliah di Bandung, sesekali bertemu Dindin yang biasanya bertempat di kosannya Mahmuddin (kakak kelas Dindin, angkatan 1998, yang kini dosen pada Universitas La Tansa Mashira) yang dekat dengan rumahnya. Sesekali saya juga diajak oleh Dindin ke rumahnya itu, hingga makan barena sebagaimana dulu waktu mondok di La Tansa.

Setelah lulus dari Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, saya kembali ke La Tansa (2001-2002). Saya menjadi pengajar Sosiologi di SMA kelas 5 dan kelas 6 IPS A dan IPS B. Salah seorang murid saya bernama Rina Mutiara Wati yang biasa dipanggil “Neng Muti”, adiknya Dindin. Karena itu, komunikasi saya dengan Dindin kembali lebih intensif. Hal ini karena saat Neng Muti dijenguk, Dindin juga sering ikut keluarganya, bahkan ia juga menjadi sopir mobil pribadi ayahnya itu.

Saat mengajar, saya juga pernah memerintahkan Neng Muti dan beberapa murid lainnya untuk tampil dan berdiri di depan kelas. Saya meminta mereka untuk menerangkan sekilas perjalanan hidup ayah mereka. Neng Muti pun bercerita tentang perjalanan hidup Pak Hendi Suhendi yang dalam perkembangannya selain meraih gelar Profesor juga menjabat Dekan Fakultas Syariah UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Ia juga bercerita tentang keprihatinan sang ayah yang berasal dari pelosok kampung di Majalengka.

Keprihatinan ini sebagaimana yang pernah dialami Prof Hendi yang pernah berjalan kaki cukup jauh untuk berjualan beras, saat duduk di Pendidikan Guru Agama (PGA) hingga tahun-tahun pertama kuliah. (Dalam perjalanan berikutnya selain diceritakan Neng Muti, Prof Hendi sebagaimana diberitakan oleh berbagai media lokal di Jawa Barat, wafat saat mudik (balik kampung) waktu menyampaikan khutbah di masjid Agung Majalengka).

Selain menjadi guru Sosiologi, saya juga menjadi sekretaris Majalah La Tansa. Karena itu, saya pun pernah meminta Dindin untuk membuat artikel hingga dimuat di majalah La Tansa bertema tentang Satu Dasa Warsa La Tansa (1991-2001). Di dalamnya, Dindin juga menuliskan tentang kekagumannya terhadap sosok K.H. Ahmad Rifa’i Arief, pemimpin pesantren La Tansa yang setelah wafat pada tahun 1997 dilanjutkan oleh putra beliau, K.H. Andrian Mafatihullah Karim. Adapun putra beliau lainnya, Fairus Nahidhuddin, juga merupakan teman sekelas Dindin. Artikel yang ditulisnya saat kuliah pada tahun keduanya itu, menunjukkan potensi Dindin semakin terasah baik sebagai akademisi maupun organisatoris. Hal ini sebagaimana yang ditulis dalam identitas singkatnya selain sebagai alumnus La Tansa 1999 juga sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa (HMJ) Jurusan Pendidikan Bahasa Arab UIN SGD.

Setahap-demi setahap jenjang perkuliahan pun Dindin selesaikan. Hingga ia pada tahun 2009 meraih gelar doktor dengan yudisium cum laude (mumtaz) dalam usia 28,5 tahun. Karena itu, ia menjadi doktor termuda dalam sejarah UIN Bandung. Dalam perkembangannya, ia juga menjabat Wakil Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Pendidikan kampus tersebut. Kemampuan berbahasa Arab dan berbahasa Inggrisnya sejak mondok, juga mengantarkan Dindin untuk ditugaskan ke berbagai mancanegara, baik yang umumnya berbahasa Arab maupun berbahasa Inggris.

Sekian lama saya tak berjumpa lagi dengan Dindin secara langsung. Hingga kami pun bertemu kembali sesama panelis dalam peringatan milad ke-25 (seperempat abad) La Tansa pada 14 Mei 2016. Dua tahun berikutnya (2018), saat saya menjabat sebagai Kepala Litbang Lektur Keagamaan, Puslitbang LKKMO Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Dindin juga menghadiri undangan acara kantor kami yang diselenggarakan di Bandung.
Pertemuan hingga percakapan saya dengan Dindin berikutnya terjadi di media sosial saja, baik melalui facebook maupun whatsapp (WA).

Adapun chat saya terakhir melalui wa, terjadi tiga pekan lalu, pada 5 Januari 2023. Saat itu, saya menginformasikan tentang Dr. Mukti Ali (dosen IAIN Salatiga, adik kelas saya waktu mondok di Daar el-Qolam Gintung yang juga didirikan oleh K.H. Ahmad Rifai Arief sebelum mendirikan La Tansa) yang akan diangkat menjadi Guru Besar berikut mendapatkan gelar Profesor. Saya yang menyapa Dindin setelah ia berhaji dengan suku kata “Ji”, menyampaikan perjalanan karir Mukti Ali. Ia yang saat lulus dari Daar el-Qolam beryudisium maqbul (tingkatan yudisium paling rendah), tapi berhasil menjadi mumtaz, setelah lulus dari pesantren ini. Atas keberhasilan Mukti Ali, saya juga jadi teringat Dindin. Ia yang dulu lulus dengan yudisium “jayyid” juga berhasil mumtaz saat kuliah hingga meraih yudisium cum laude (mumtaz) dan peraih gelar doktor termuda dalam sejarah UIN Bandung. Dengan raihan angka kredit dan artikel pada jurnal-jurnal internasional, Dindin juga semakin dekat untuk menjadi Profesor. Namun, “La Tansa Mashira”, Allah menghendaki Dindin untuk segera kembali kepada “mashira” (tempat asal mula kejadian/tempat kembali) dalam usia yang masih muda 42 tahun, 1 bulan.

Saya pun jadi teringat chat Dindin setelah saya menginformasikan Mukiti Ali akan meraih gelar Profesor dan harapan saya Dindin juga untuk mencapai gelar tersebut, sebagaimana ayahnya Prof.Dr. Hendi Suhendi. Ia pun bertanya kepada saya “akang, iraha (kapan)? Sebuah pertanyaan dari orang yang usianya 5 tahun lebih muda dari saya namun kini telah mendahului pulang menuju mashira.

Dindin yang telah pulang menuju mashira ini juga berencana mendirikan pesantren di Cianjur. Informasi ini diperoleh dari teman saya sesama Cikal lainnya, kang Andi Supriadi, M.Pd yang kini menjadi pemimpin pesantren “Cikal” di Garut. Ia memberi tahu saya. Beberapa hari lalu, Dindin menelponnya terkait rencana pendirian pesantren tersebut. Ia juga mengucapkan terima kasih kepada kang Andi. Karena dulu waktu mondok saat masih kelas 1, sambil menangis, Dindin mau berhenti. Namun, kang Andi berhasil mencegah dengan nasehat-nasehatnya, hingga Dindin dapat melanjutkan pendidikan bukan hanya hingga tahun kedua, tapi hingga selesai selama 6 tahun mondok di La Tansa.

Ji…mugia cai soca 30 taun kapungkur waktos nangis hoyong liren ti La Tansa, mung teu cios. Oge cai soca ti kulawargi waktos tadi ngantunkeun ieu alam dunya…Haji Dindin nuju mesem, bungah, kumargi nyandak amal sae nu pohara ka akherat, ka mashira….Aamiin….(Ji semoga air mata 30 tahun lalu waktu menangis ingin berhenti dari La Tansa, tapi urung. Juga air mata dari keluarga waktu tadi meninggalkan alam dunia ini….Haji Dindin sedang tersenyum, bahagia, karena membawa amal baik yang sangat banyak ke akherat, ke mashira…Aamiin)

(Baktos, ti pribados: Dr. Nurman Kholis, S.Sos., M.Hum. (Peneliti Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban, Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra, Badan Riset dan Inovasi Nasional-BRIN).

Artikel ini telah dibaca 7 kali

badge-check

Editorial Team

Baca Lainnya

Keren! Jalin Kerjasama, 2 Mahasiswa UIN Bandung Internship di UITM Malaysia

1 April 2023 - 05:57

Ini Cara UIN Bandung Tingkatkan Kualitas Layanan Publik, Lewat Aplikasi E-Office

20 Februari 2023 - 11:08

Konferensi Internasional ICWT 2023 Jadi Gawean ITB dan UIN Bandung Tingkatan Publikasi Ilmiah

15 Februari 2023 - 08:30

Ini Cara UIN Bandung Kembangkan Reputasi Akademik Program Unggulan

13 Februari 2023 - 14:33

Tak Ingin Disebut Kupu-kupu Kampus, 5 Alasan Mahasiswa Wajib Berorganisasi Ala Insan Cita

9 Februari 2023 - 10:32

Tingkatkan Tracer Study, Pusat Karier UIN Sunan Bandung Terima Kunjungan dari UIN Malang

8 Februari 2023 - 20:05

Trending di Edukasi