Naif Adnan (Penyuluh Agama Islam KUA Kec. Pesanggrahan Kota Jakarta Selatan)
SUNANGUNUNGDJATI.COM
Saat ini, kita sudah memasuki separuh akhir dari bulan Ramadan. Sudah separuh awal kita lewati dengan penuh khidmat dan khusyu. Momen separuh akhir Ramadan ini ditandai dengan imam mulai membaca doa qunut pada saat rakat ketiga salat witir. Bagi pengikut madzhab Syafi’i membaca doa qunut pada salat witir adalah sunnah.
Salat witir dikerjakan setelah salat tarawih. Salat tarawih ada yang mengerjakan delapan rakaat ada juga yang mengerjakan dua puluh rakat. Beberapa masjid yang moderat bisa mengakomodir keinginan jamaah dengan mengadakan dua kali witir, agar yang melaksanakan tarawih delapan rakat bisa witir duluan, sembari penganut tarawih dua puluh rakat beristirahat sejenak. Setelah jamaah tarawih delapan rakat selesai mengerjakan witir, jamaah tarawih dua puluh rakat bisa melanjutkan tarawih mereka.
Di beberapa daerah di nusantara, kita bisa menemukan beberapa tradisi unik untuk menandai separuh akhir Ramadan ini. Di antaranya adalah bergantinya bacaan surah pada rakat pertama tarawih setelah bacaan surah al Fatihah, imam kemudian membaca surah al Qadr. Begitupun pada saat rakat kedua setelah bacaan surah al fatihah, imam membaca surah at Takasur. Tradisi ini penulis temukan beberapa masjid di wilayah binaan Pesanggrahan Jakarta Selatan. Tepat pada malam ke enam belas, pengurus masjid setelah lepas witir mengadakan makan bersama dengan menu ketupat opor ayam.
Indonesia ini sangat unik dalam merayakan menyambut Ramadan maupun merayakan Ramadan akan pergi. Tradisi nyadran, munggahan, padusan, meugang dan lain-lainnya bisa kita saksikan jika akan memasuki Ramadan. Tradisi ini punya kesamaan, intinya adalah ngumpul-ngumpul makan bersama didahului dengan membacakan doa untuk arwah dan leluhur ditambah dengan nyekar ke makam keluarga.
Begitu juga bila Ramadan akan selesai, ada tradisi malam pitu likur misalnya di daerah Riau. Masyarakat melayu punya kebiasaan membuat lampu pelita. Malam pitu likur ini dimulai dari malam ke dua puluh satu, di mana di pekarangan rumah atau di pinggir jalan banyak dipasang lampu pelita dengan mengggunakan minyak. Lampu pelita ini disusun dan dibentuk bisa menyerupai kubah masjid, kaligrafi atau bulan dan bintang, tak jarang bahkan dibuat lomba lampu pelita antar desa oleh pemerintah daerah setempat. Tradisi ini hampir sama dengan masyarakat Bolaang Mangondow yang dikenal dengan istilah monuntul (memasang obor) di tiga hari akhir bulan Ramadan.
Di sepuluh malam terakhir Ramadan juga beberapa masjid semakin menghidupkan qiyamul lail dengan melaksanakan salat sunnah tasbih secara berjamaah. Begitu juga dengan ibadah i’tikaf ramai diadakan. Beberapa tradisi menyambut dan berpisah dengan bulan Ramadan ini menambah syahdu bulan Ramadan yang tidak akan kita temukan di negara-negara lain. Masyarakat nusantara perlu merawat tradisi ini sebagai sebuah kekayaan. Selain merawat tradisi, ini juga merupakan bagian daripada moderasi beragama dimana kita perlu akomodatif dengan budaya lokal.
Budaya-budaya lokal ini bukan dianggap sebuah ancaman, akan tetapi dianggap sebagai bagian untuk memperkaya ritual keagamaan. Hal yang perlu ditangkap adalah substansinya, karena di dalamnya ada nilai-nilai kebersamaan, silaturahim dan sosial. Kita berharap Ramadan kali ini tidak berlalu begitu saja, harus ada perbaikan amal dari tahun-tahun sebelumnya. Semoga generasi muda bisa melestarikan tradisi-tradisi lokal ini.