SUNANGUNUNGDJATI.COM
Saya membenci kabar yang terbaca menjelang sahur. Saya membaca berulang-ulang sebuah nama yang katanya telah pergi menghadap Ilahi. Sebuah nama yang saya kenal semenjak lama. Sebuah nama yang bukan sekadar teman tapi juga saudara yang berulang-ulang kami ikrarkan dalam setiap pertemuan angkatan.
Saya tak percaya. Tak ingin percaya. Berulang saya membaca nama itu. Berharap salah apa yang saya baca. Berharap keliru siapapun yang mengabarkan berita kematian itu. Namun tetap tak berubah: Muhammad Fakhrurozi.
Yaa Allah!
Untuk sejenak, rasanya saya tak bisa bernafas. Udara seumpama mendadak beku. Pikiran seperti diaduk tak menentu. Ini kabar bohong! Saya masih menolak untuk percaya! Mungkin mimpi! Tapi berita yang terbaca di grup WA juga informasi teman membenarkan “kepergiannya”. Bagaimana bisa? Kenapa mesti mati?
Kematian itu batas, begitulah orang semacam Jaspers meyakininya. “Das umgreifende” yang melingkupi, peristiwa pasti yang ditemui sebagai faktisitas kenyataan. Suka atau tidak, ia bisa tiba pada waktunya menemui kita: Pada saat gembira. Di kala lengah. Pada waktu tidur. Ketika sakit. Dan ketika manusia jumawa bahkan lupa seolah nyawa tak ada akhirnya.
Kematian itu memudarkan eksistensi sekaligus moment eksistensial. Istri atau suami yang menangis. Anak yang meratap. Kerabat yang tercekat atau kita yang terhenyak mendengar kabar kepergiannya. Siapapun yang ditinggalkan pantas meratap. Beberapa waktu lalu bukankah ia masih bersama kita?
Lalu tanpa diduga, ia pergi untuk tak kembali. Sebuah sergapan yang menggetkan. Seumpama petir yang menyambar tiba-tiba. Kejadian tragis yang membuat waktu seolah berhenti seketika. Itulah momen eksistensial. Momen yang meneguhkan kesadaran bahwa kematian adalah entitas pasti nan abadi yang dihadapi seluruh makhluk bernyawa. Peristiwa “mengerikan” yang melunturkan anggapan manusia sebagai satu-satunya spesies yang paling istimewa.
Kematian. Tak ada ilmu dan kesaktian yang bisa mengalahkan. Tak ada bacaan juga mantra yang bisa menunda bahkan menolak kedatangannya. Tak juga ada tempat yang aman buat bersembunyi dan mengindar darinya. Kita hanya sedang menunggu, ditemui mungkin juga diburu olehnya. Seumpama antri di balik pintu siapa giliran berikutnya. Tak bisa menghindar. Mustahil mengelak dari ajakan untuk datang menemuinya. “Fainnal mautalladzi taffiruna minhu fainnahu mulaaqiikum”, begitu kitab suci menegaskan.
Untuk sebuah nama yang selalu lekat dalam ingatan: Muhammad Fakhrurozi, yang baru saja “berangkat” menempuh perjalanan ke alam keabadian, Allah berkenan menerimanya. Allah sumringah menantinya. Seumpama tamu istimewa yang disambut dengan kehangatan dan pelukan. Ditempatkan di kursi kehormatan di samping-Nya.
Muhammad Fakhrurozi sungguh sudah sempurna menjemput taqdirnya, berharap jiwa damailah yang menyertainya. “Wahai jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridla. Masuklah sebagai hamba-hambaku. Masuklah ke dalam syurgaku”.
Selamat jalan Zi!
RADEA JULI A. HAMBALI, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.