Atep Kurnia, Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang.
SUNANGUNUNGDJATI.COM
Pada tulisan sebelumnya, saya menyebut-nyebut keterangan dari Penghulu Bandung Haji Hasan Mustapa (Bab Adat-Adat Oerang Priangan djeung Oerang Soenda lian ti eta, 1913) tentang adanya “doelag” (beduk), “koeramas” (keramas), dan “doelag koeramas” (beduk keramas) sebagai pertanda masuknya bulan Ramadan. Demikian pula yang dinyatakan oleh Moh. Ambri.
Menurut Hasan Mustapa (1913: 128), “Ari prakna mimiti tanggal 30 Rewah, baris isoek tanggal hidji Poeasa, aja doelag, di pakaoeman atawa kalebean atawa pasantren, bareng sapoe reudjeung, niatna mere njaho isoekan baris moenggah Poeasa” (Mulainya tanggal 30 Sya’ban, keesokannya tanggal satu bulan Puasa, ada beduk, di masjid atau lebai atau pesantren, sehari secara bersamaan, niatnya memberi tahu bahwa besok akan naik Puasa).
Maksud Hasan Mustapa, beduk ditabuh pada 30 Sya’ban sebagai tanda masuknya bulan Puasa keesokan harinya. Karena akan memasuki bulan suci, maka orang yang akan berpuasa disarankan untuk membersihkan diri dengan cara berkeramas. Karena berbarengan dengan ditabuhnya beduk, maka istilah keramas disatukan dengan beduk, sehingga dikenal dengan nama “dulag kuramas”. Kata Hasan Mustapa, “Ninggang kana adat rek kana lampah hade koedoe beberesih, diganti ngaran doelag djadi doelag koeramas (diangir mandi), beberesih tina sagala kokotor. Basa koeramas lemes, kasarna diangir. Lamoen lain rek poeasa mah koedjamas”.
Kata Hasan Mustapa, istilah “koeramas” merupakan bahasa halus dari “diangir”. Konon, bila pada hari-hari biasa, maka istilah yang digunakan untuk menunjukkan kegiatan keramas disebut sebagai “koedjamas”.
Hal senada disampaikan oleh Mohamad Ambri (“Poe noe Dimoeljakeun koe Oerang Soenda”, dalam Volksalmanak Soenda 1940). Menurut pengarang Sunda itu “Piisoekaneun poeasa sok narabeuh bedoeg, diseboetna doelag” (sehari menjelang puasa, orang-orang suka menabuh beduk, yang disebut sebagai dulag). Pada hari tersebut menurutnya setiap orang yang hendak berpuasa diharuskan untuk mandi keramas (“Poe eta sakoer noe rek paroeasa mah koedoe koeramas”). Diusahakan keramasnya sebelum dzuhur, sebab bila setelahnya, konon suka menyebabkan kematian pada malam hari (“Sabisa-bisa koeramas teh koedoe memeh lohor, sabab lamoen bada lohor mah magar teh sok paeh ti peuting”).
Kata Ambri selanjutnya, “Koeramas tea meunang bari sakalian mandi, malah saenjana nadjan kaboeritnakeun oge henteu aja laranganana. Lamoen urang geus ‘beresih’ kakara meunang poeasa” (Keramasnya boleh sekalian mandu, bahkan sebentulnya meski menjelang malam [keramas] tidak ada larangannya. Bila kita sudah ‘bersih’ barulah kita boleh berpuasa).
Kembali ke dulag. Dari kamus-kamus Sunda, terutama Kamus Basa Sunda (2006: 177) susunan R.A. Danadibrata, saya tahu dulag itu berdasarkan waktu menabuhnya selama menjelang dan pada bulan Puasa sungguh bermacam-macam. Ada dulag kuramas, dulag jaman, dan dulag pitrah. Dulag kuramas adalah “ngadulag yen dina poe eta kudu dikuramas sabab poe isuk mimiti puasa” (menabuh beduk karena pada hari itu harus dikeramas sebab besok mulai berpuasa).
Dulag jaman merujuk kepada kegiatan menabuh beduk menjelang sahur, sehingga disebut juga dulag saur (beduk sahur) (“ngadulag dina waktu saur bulan Puasa, sok disebut oge dulag saur”). Satu lagi, dulag pitrah adalah “ngadulag ti beurangna rek mamaleman n.k. isukna rek Lebaran ngabejaan kudu palitrah” (menabuh beduk sejak siang menjelang malam-malam ganjil sejak 21 Ramadan hingga menjelang esok harinya Lebaran, dengan maksud memberitahu harus mengeluarkan zakat fitrah).
Mengenai bagaimana semaraknya menyambut puasa di Tatar Sunda dengan menabuh beduk dan keramas antara lain tergambar dalam buku Warna Sari Soenda, Jilid II (1922) susunan J. Kats, Teu Pegat Asih (1932, cetakan 2007) karya Suman Hs, dan Srangenge Surup Manten (1982) karya Ahmad Bakri.
Dalam buku susunan J. Kats (1922: 138) dikatakan, “Boelan Rewah geus tompèr, tèrèh moenggah. Piisoekaneun moenggah bedoeg ngadoeroegdoeg baè didoelagkeun nitah koeramas. Sakoer anoe rèk paroeasa beberesih, dialangir” (Bulan Syaban sudah hampir habis, sebentar lagi munggah. Keesokan harinya menjelang munggah beduk ditabuh untuk menyuruh keramas. Setiap orang yang hendak berpuasa harus bersih-bersih, keramas).
Dalam karya Suman Hs yang diterjemahkan oleh Mohamad Ambri (2007: 57), saya antara lain mendapatkan gambaran demikian: “Heuleut lima welas poé ti semet tuan Syekh kawin, bada lohor dur dulag ngadurduran, dulag kuramas, isukna poéan mepet Puasa” (Selisih 15 hari setelah tuan Syekh menikah, setelah dzuhur beduk ditabuh, beduk keramas, sebab besok harus berpuasa).
Satu lagi dari Ahmad Bakri (1982: 21). Di situ Ahmad Bakri menulis, “Ti isuk keneh dulag nurugtug di masigit jeung di tajug-tajug. Ngabejaan bulu tuur, da sarerea ge geus pada nyaho, yen mimiti puasa” (Sejak pagi beduk ditabuh di masjid dan di langgar-langgar. Memberitahu orang yang sebenarnya sudah tahu, sebab semua orang sudah tahun, bahwa puasa akan dimulai).
Namun, ada fakta yang menarik yang dicatat Jonathan Rigg pada abad ke-19. Dalam A Dictionary of the Sunda Language of Java (1862: 235), Jonathan menjelaskan lema “Kuramas” sebagai “To wash the hair with any ingredients which yield a lather as with Kichaang which see. The natives all kuramas or cleanse the hair of the head in this way, at the end of the Puasa or fasting month and just before the Labaran” (mencuci rambut dengan ramuan yang menghasilkan busa seperti tumbuhan Kicaang. Orang-orang bumiputra semuanya keramas atau mencuci rambut di kepalanya dengan cara demikian, pada akhir Puasa dan sehari menjelang Lebaran). Sebagai tambahan, menurut Jonathan “kuramas” dalam bahasa Jawa disebut sebagai “kramas”.***
Sumber, www.forumtbm.or.id