Politik, Dramaturgi dan Panggung Citra?

- Editorial Team

Sabtu, 8 Januari 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

SUNANGUNUNGDJATI.COM – Politik itu soal panggung. Panggung milik siapa untuk siapa. Tidak mesti yang ‘manggung’ adalah yang punya panggung. Bisa dipanggungi orang lain. Terkadang ada yang manggung sendiri. Bikin panggung sendiri. Lebih banyak yang diberi panggung oleh orang lain. Bagai pengantin. Tidak bikin panggung sendiri.

Ada juru rias. Biar panggung terlihat anggun. Yang mau manggung bayar. Kepada juru rias. Ada yang professional. Ada yang amatiran. Tergantung besar kecilnya panggung. Mewah sederhananya panggung. Semakin mewah panggung semakin besar bayarannya. Semakin banyak yang menanggungnya. Pengantin bisa urunan. Bahkan yang bukan pengantin pun banyak yang nyumbang. Apalagi pengantin politik.

Panggung ini sudah lama ada. Bahkan nun jauh di sana. Di Athena, kota lahirnya demokrasi. Berabad-abad yang lalu. Konon katanya, eklesia atau pemungutan suara dewan di Yunani bagaikan panggung. Mulanya diselenggarakan di Agora. Pindah ke panggung Theatre of Dionysus. Terus ke Pnyx. Disini, semua penduduk laki-laki Athena, dibebaskan untuk bicara. Untuk beropini. Mengekspresikan pendapat sebebas-bebasnya.

Itulah panggung awal demokrasi.

Panggung adalah citra. Tepatnya untuk membuat citra. Bagi sang mempelai. Biar dilihat atau terlihat wah. Bukan hanya oleh yang sengaja diundang. Tapi juga orang yang kebetulan lewat. Juga para pedagang. Yang ikut memeriahkan di seputar panggung. Panggung adalah magnet bagi siapapun. Yang berkepentingan. Bukan hanya bagi sang aktor utama. Tapi tim hore juga.

Karena tempat membangun citra. Tepatnya pencitraan. Jangan tertipu oleh panggung. Panggung sipatnya instant. Terutama panggung konvensional. Ingat panggung citra. Ingat Erving Goffman. Bagi Goffman, dalam diri setiap orang. Selalu ada pertentangan. Antara spontanitas. Dan Tuntutan sosial. Nantinya melahirkan interaksi simbolik, oleh Blumer.

Citra diri seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, kata Blumer. Dipengaruhi tiga premis: meaning, language dan thought. Goffman sendiri terkenal dengan teorinya dramaturgi. Panggung depan, panggung belakang. Jangan terkecoh oleh panggung depan. Kadang-kadang hanya symbol, tempat membangun citra.

Panggung millennial lebih luas. Tidak konvensional. Bukan terbuat dari kayu. Bukan tembok. Tanpa batas area, tanpa batas waktu. Tidak lagi instant. Digital stage, namanya. Panggung digital. Tidak dibangun satu hari, besok dibongkar. Ada jejak digital. Lebih permanen. Lebih berpengaruh lama.

Bagi politisi sekarang. Harus lebih berhati-hati menggunakan panggung itu. Panggung digital. Selain tidak instan, mudah dipersepsi orang. Ketika sang politisi tidak bermaksud, menjadikannya sebagai panggung. Orang melihatnya lain, disangka panggung. Bisa dijadikan senjata. Oleh lawan politik. Meskipun ketika dia ‘pentas’. Tidak disengaja. Sudah lama. Bukan dalam momen politik. Tapi bisa digunakan kapan saja. Ketika sang aktor, terjun ke politik. Itulah yang disebut jejak digital. Tak bisa dihapus.

Sedang ramai di media. Akhir-akhir ini. Soal revisi undang-undang. Tepatnya undang-undang pemilu, UU 7/2017.  Undang-undang itu menyebutkan. Tak ada Pilkada 2022, juga 2023. Harus serentak, tahun 2024. Apakah harus direvisi atau tidak. Saya tidak tahu, apakah ramai-ramai di media ini juga berhubungan dengan panggung? Panggung citra, atau panggung yang real. Benar-benar panggung?.

Apakah memang ada yang butuh panggung? Misalkan panggung antara. Panggung antara bagi pengantinnya menuju 2024. Atau panggung citra sekarang. Citra empati dan simpati. Bagi penanganan covid 19, sehingga tak perlu revisi.

Undang-undang itu. Laksanakan saja. Mungkin banyak panggung dalam diskusi revisi itu. Bisa juga kepentingan menghilangkan panggung. Oh panggung, oh dunia. Dunia ini memang panggung sandiwara, kata Nicky Astria. Tetapi mengapa kita bersandiwara, lanjutnya. Sekali lagi gara-gara panggung.

Mari kita lihat pertarungan di atas panggung. Kita lihat front stage-nya saja. Jangan kepo mau lihat back stage-nya. Cukup panggung depan yang kita nikmati.

Jangan menebak-nebak rahasia apa di panggung belakang. Bukan tugas kita, itu tugas politisi. Selamat menonton apa yang ada di panggung.

Jangan ikut berjoget di atas panggung. Karena di panggung. Ceritanya mudah berubah. Bagai kisah Mahabarata dan Tragedi Yunani, begitu Nicky Astria dalam lagunya.***

Prof. Ahmad Ali Nurdin, MA., P.hD, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Pos Terkait

Bambang Qomaruzzaman : Pemilu harus Diniatkan seperti Shalat
Doa dan Perubahan Sosial
Jelang Pemilu, Simak Baik-baik Ya Pesan Sunan Gunung Jati
Arah Pembangunan Indonesia
Bangkrutnya Era Politik Konvensional?
Tak Ada Yang Mencintai Indonesia
Wujudkan Demokrasi yang Bersih, Hadirkan Kampung Anti-Politik Uang
Politik ‘Sekularisme’ Maladewa?

Pos Terkait

Jumat, 9 Februari 2024 - 23:58 WIB

Bambang Qomaruzzaman : Pemilu harus Diniatkan seperti Shalat

Senin, 5 Februari 2024 - 12:40 WIB

Doa dan Perubahan Sosial

Kamis, 25 Januari 2024 - 11:08 WIB

Jelang Pemilu, Simak Baik-baik Ya Pesan Sunan Gunung Jati

Rabu, 9 Agustus 2023 - 08:30 WIB

Arah Pembangunan Indonesia

Minggu, 5 Februari 2023 - 21:42 WIB

Bangkrutnya Era Politik Konvensional?

Sabtu, 21 Januari 2023 - 12:34 WIB

Tak Ada Yang Mencintai Indonesia

Senin, 26 Desember 2022 - 23:58 WIB

Wujudkan Demokrasi yang Bersih, Hadirkan Kampung Anti-Politik Uang

Senin, 21 Maret 2022 - 16:17 WIB

Politik ‘Sekularisme’ Maladewa?

Pos Terbaru

Nulis

Teologi Tulang Rusuk

Selasa, 23 Apr 2024 - 16:28 WIB