Atep Kurnia, Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang
SUNANGUNUNGDJATI.COM
Kehadiran opor sebagai salah satu jenis masakan sudah lama dikenal oleh orang Sunda. Kehadirannya sudah terekam dalam cerita pantun Sunda yang khas tradisi lisan, misalnya pada Tjarita Perenggong Djaja, yang dipantunkan oleh Ki Samid dari Cisolok, Sukabumi, dan diupayakan penerbitannya oleh Ajip Rosidi pada 1971.
Di situ (1971: 22) ada kutipan begini: “ngangeun opor bae hajam djago, ngabakakak hajam bikang, ti peuSting hajam kabiri, dedepa hajam dantên, tjongtjot koneng make endog” (membuat opor ayam jago, membuat bekakak ayam betina, malam hari ayam kebiri, dedepa ayam perawan). Kutipan ini mengingatkan saya pada naskah Sunda kuna Sanghyang Swawarcinta yang dteliti oleh Tien Wartini dan kawan-kawan (Sanghyang Swawarcinta: teks dan terjemahan, 2011) yang juga banyak membahas ihwal masakan berbahan ayam.
“Hayam bwadas ta dipadamara, hayam beureum disarengseng, hayam cangkes diketrik, hayam hurik dipais bari, hayam danten dipepecel, hayam bikang dipapanggang, hayam kurung dikudupung, hayam kencaran disaratén, hayam kambeuri ta dikasi” (Ayam putih dipadamara, ayam merah disarengseng, ayam cangkes diketrik, ayam burik dipepes bari, ayam dara dibumbu pecel, ayam betina dipanggang, ayam kurung dikudupung, ayam liar disaraten, ayam kebiri dikasi, 2011: 57, 107).
Menariknya, kata “dikudupung” diberi arti dengan kemungkinan, sebagai “mungkin dimasak dengan cara direbus sampai empuk (opor)” (2011: 150). Bila benar demikian, opor sudah dikenal dan dibikin masakannya oleh orang Sunda sejak zaman Kerajaan Sunda hingga abad ke-17 dan terus dikenal oleh orang Sunda hingga abad ke-19 saat mulai dikenalnya penerbitan buku cetak dalam kebudayaan Sunda. Bukti-buktinya dapat dibaca dari buku Dongeng-dongeng Pieunteungeun (1867: 93) karya R.H. Moehamad Moesa, Warnasari (1876: 144) karya R.A. Lasminingrat, dan Soendasch-Hollandsche Samenspraken (1883: 15) karya R. Karta Winata.
Dalam cerita “Opor Meri”, Moesa antara lain mengatakan, “Aja hidji boedak ngaran si Landoeng, soeka boengah sarta oewar-oewar ka doeloer-doeloerna awewe lalaki, pokna: Powe isoek rijoengan, indoeng ngopor mēri, mangke sore bakal njatoe-njatoe ngenah djeng opor!” (Ada seorang anak bernama Landoeng yang sedang bergembira dan berkata kepada saudara perempuan dan laki-lakinya, katanya: besok kita berkumpul, ibu akan membuat opor itik, dan sorenya kita akan makan enak dengan opor).
Dalam buku karya Lasminingrat opornya terbuat dari ayam (“opor hajam”). Di situ dikatakan, “Sanggeus bapana ngomong kitoe bangkong ngatjilog tina beungeutna, sarta ngadjadi deui opor hajam” (setelah bapaknya berkata demikian, kodok pun loncat dari mukanya, dan kembali lagi menjadi opor ayam). “Tidinja toeloej bae daladaharan balaketjrak njanghareupan opor hajam doewa” (Dari situ kemudian mereka makan bersamaan menghadapi dua opor ayam).
Selanjutnya dalam karya R. Karta Winata ada dialog yang juga menyebut opor dan itik antara seorang pembantu dengan nyonya rumahnya. Si pembantu bertanya kepada nyonya rumah tentang itik yang setelah disembelih, dibului, dan direbus hingga lunak (“Pek bae eta meri teh geura titah peuntjit, geus kitoe toeloej titah doedoetan masing bersih djeung ngoeloebna masing lila soepaja oedoeh”) akan dibuat apakah itik tersebut (“Koki. Dopi geus kitoe dikoemahakeun eta mĕri teh?”). Jawab si nyonya agar dibuat opor saja (“Njonja. Opor bae”).
Alhasil, sejak zaman Kerajaan Sunda hingga abad ke-19, orang Sunda sudah terbiasa membuat masakan opor dengan berbahan baku ayam atau itik. Sekaligus dapat menerangkan mengapa sekarang selalu lekat dengan masakan untuk hidangan menyambut Hari Raya Idul Fitri.
Sumber, Forum TBM