RAMADAN DI TATAR SUNDA (5): Opor

- Editorial Team

Kamis, 20 April 2023 - 08:00 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Atep Kurnia, Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang

SUNANGUNUNGDJATI.COM

Kehadiran opor sebagai salah satu jenis masakan sudah lama dikenal oleh orang Sunda. Kehadirannya sudah terekam dalam cerita pantun Sunda yang khas tradisi lisan, misalnya pada Tjarita Perenggong Djaja, yang dipantunkan oleh Ki Samid dari Cisolok, Sukabumi, dan diupayakan penerbitannya oleh Ajip Rosidi pada 1971.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Di situ (1971: 22) ada kutipan begini: “ngangeun opor bae hajam djago, ngabakakak hajam bikang, ti peuSting hajam kabiri, dedepa hajam dantên, tjongtjot koneng make endog” (membuat opor ayam jago, membuat bekakak ayam betina, malam hari ayam kebiri, dedepa ayam perawan). Kutipan ini mengingatkan saya pada naskah Sunda kuna Sanghyang Swawarcinta yang dteliti oleh Tien Wartini dan kawan-kawan (Sanghyang Swawarcinta: teks dan terjemahan, 2011) yang juga banyak membahas ihwal masakan berbahan ayam.

“Hayam bwadas ta dipadamara, hayam beureum disarengseng, hayam cangkes diketrik, hayam hurik dipais bari, hayam danten dipepecel, hayam bikang dipapanggang, hayam kurung dikudupung, hayam kencaran disaratén, hayam kambeuri ta dikasi” (Ayam putih dipadamara, ayam merah disarengseng, ayam cangkes diketrik, ayam burik dipepes bari, ayam dara dibumbu pecel, ayam betina dipanggang, ayam kurung dikudupung, ayam liar disaraten, ayam kebiri dikasi, 2011: 57, 107).

Menariknya, kata “dikudupung” diberi arti dengan kemungkinan, sebagai “mungkin dimasak dengan cara direbus sampai empuk (opor)” (2011: 150). Bila benar demikian, opor sudah dikenal dan dibikin masakannya oleh orang Sunda sejak zaman Kerajaan Sunda hingga abad ke-17 dan terus dikenal oleh orang Sunda hingga abad ke-19 saat mulai dikenalnya penerbitan buku cetak dalam kebudayaan Sunda. Bukti-buktinya dapat dibaca dari buku Dongeng-dongeng Pieunteungeun (1867: 93) karya R.H. Moehamad Moesa, Warnasari (1876: 144) karya R.A. Lasminingrat, dan Soendasch-Hollandsche Samenspraken (1883: 15) karya R. Karta Winata.

Dalam cerita “Opor Meri”, Moesa antara lain mengatakan, “Aja hidji boedak ngaran si Landoeng, soeka boengah sarta oewar-oewar ka doeloer-doeloerna awewe lalaki, pokna: Powe isoek rijoengan, indoeng ngopor mēri, mangke sore bakal njatoe-njatoe ngenah djeng opor!” (Ada seorang anak bernama Landoeng yang sedang bergembira dan berkata kepada saudara perempuan dan laki-lakinya, katanya: besok kita berkumpul, ibu akan membuat opor itik, dan sorenya kita akan makan enak dengan opor).

Dalam buku karya Lasminingrat opornya terbuat dari ayam (“opor hajam”). Di situ dikatakan, “Sanggeus bapana ngomong kitoe bangkong ngatjilog tina beungeutna, sarta ngadjadi deui opor hajam” (setelah bapaknya berkata demikian, kodok pun loncat dari mukanya, dan kembali lagi menjadi opor ayam). “Tidinja toeloej bae daladaharan balaketjrak njanghareupan opor hajam doewa” (Dari situ kemudian mereka makan bersamaan menghadapi dua opor ayam).

Selanjutnya dalam karya R. Karta Winata ada dialog yang juga menyebut opor dan itik antara seorang pembantu dengan nyonya rumahnya. Si pembantu bertanya kepada nyonya rumah tentang itik yang setelah disembelih, dibului, dan direbus hingga lunak (“Pek bae eta meri teh geura titah peuntjit, geus kitoe toeloej titah doedoetan masing bersih djeung ngoeloebna masing lila soepaja oedoeh”) akan dibuat apakah itik tersebut (“Koki. Dopi geus kitoe dikoemahakeun eta mĕri teh?”). Jawab si nyonya agar dibuat opor saja (“Njonja. Opor bae”).

Alhasil, sejak zaman Kerajaan Sunda hingga abad ke-19, orang Sunda sudah terbiasa membuat masakan opor dengan berbahan baku ayam atau itik. Sekaligus dapat menerangkan mengapa sekarang selalu lekat dengan masakan untuk hidangan menyambut Hari Raya Idul Fitri.

 

Sumber, Forum TBM 

 

Pos Terkait

Sarung dan Simbol Fleksibiltas Santri
Reaksi Umat Islam di Jawa Barat terhadap Kolonialisme dan Masa Kemerdekaan Indonesia
Memberi dan Berbagi
Jumat Berkah
Sang Nabi Pilihan
Memahami (Cerita) Mundinglaya Dikusumah
6 Contoh Standar Diri Dalam Beragama 
2 Ciri Feodalisme di Media Sosial

Pos Terkait

Minggu, 3 Desember 2023 - 12:45 WIB

Inilah Makam Sunan Gunung Jati dan Tradisi Panjang Jimat Saat Maulid Nabi

Minggu, 15 Oktober 2023 - 11:02 WIB

Yuk Jajal Kuliner Gunung Jati Cirebon, Sambil Ziarah Makam Wali

Sabtu, 14 Oktober 2023 - 13:41 WIB

Agama dan Kejahilan

Kamis, 12 Oktober 2023 - 10:01 WIB

Meneladani Kepemimpinan Rasulullah

Selasa, 10 Oktober 2023 - 09:55 WIB

Qodarullah

Jumat, 15 September 2023 - 10:01 WIB

Kisah Hidup Nabi berdasarkan Sumber Klasik

Senin, 11 September 2023 - 23:57 WIB

Gus Yaqut : Indonesia Jadi Kompas Toleransi di Dunia

Sabtu, 9 September 2023 - 15:46 WIB

Yuk Liburan di Cirebon, 5 Tempat Instagramable yang Bisa Dikunjungi

Pos Terbaru

Nulis

Sarung dan Simbol Fleksibiltas Santri

Rabu, 25 Okt 2023 - 12:05 WIB