SUNANGUNUNGDJATI.COM-Ada satu hal yang jarang disadari dari umat ini adalah banyak sekali orang-orang Islam yang takut dengan agamanya sendiri. Tentu saja ini aneh bin ironis. Kalau yang meragukan, menolak apalagi anti dengan aspirasi keislaman karena membayangkan keburukan dengan semua puncratan pikiran dan narasi apologinya, yang semuanya menunjukkan ketakutan oleh agamanya sendiri, itu sudah jelas.
Tetapi, tanpa sadar, ketakutan itu banyak juga dari yang merasa komitmen kepada Islam bahkan yang merasa memperjuangkannya, terutama di zaman resistensi kepada Islam atau Islam-phobia sangat kuat seperti sekarang. Kok bisa?
Gejala-gejalanya adalah hatinya membenarkan ajaran agamanya tapi beda sikapnya bila agamanya menjadi aspirasi, apalagi aspirasi politik. Muncul ketakutan oleh bayangannya sendiri bila Islamnya berbentuk nahi munkar atau berhadapan dengan kekuasaan sehingga menghindari ketegasan, takut resiko, takut dicap negatif, ingin aman, takut diklaim macam-macam, apalagi sudah ke resiko hidup, atasan takut memantau, kerja nanti gimana, anak istri makan apa, dari mana. Keyakinan lemah sehingga muncul keraguan.
Akhirnya, sikapnya jadi setengah-setengah, agamanya hanya ibadah ritual atau kesalehan sosial. Aspirasi politiknya ditakuti dan dihindari. Ketika agama jadi bulan-bulanan, aspirasinya dilecehkan dan dihinakan orang hanya bisa menonton, hanya menganehkan dan menyayangkan dalam ketidakberdayaan.
Karena lemahnya keyakinan dan tak percaya diri, kemudian yang bukan musuh pun dianggap musuh, gampang curiga dan mudah menyalahkan dan memusuhi pihak lain, padahal musuhnya ada dalam diri: Keraguan dan bayangan ketakutannya sendiri. “Jangan-jangan tuduhan orang itu benar, kalau Islam kuat, khawatir akan ada kekacauan, akan destruktif, akan kontraproduktif, merusak tatanan.” Keraguan itu berlangsung dibawah sadar.
“Al-islām mahjūbun bil muslimīn.” Islam terhijab oleh kaum Muslimin sendiri. Terhijab itu bukan hanya oleh perilaku-perilaku umatnya yang bertentangan dengan agama, yang merusak agama, atau orang Islam anti simbol dan aspirasi Islam, tapi juga oleh keraguan dan ketakyakinan pemeluknya pada agamanya sendiri.
Al-Qur’an sebagai “hudan lin-naas” dan “la rayba fīhi” hanya dibaca di mulut tapi tidak dihayati, tidak masuk ke dalam jiwa dan relung dada, tak jadi keyakinan. Lain di mulut lain di hati, lain ucapan lain perbuatan. Status Muslim tapi tak mendukung tegaknya ajaran agamanya sendiri. Pada yang memperjuangkan asprasi politik Islam disebut “membajak agama untuk politik” atau menyebut radikal, kemudian memilih menghindari, tak setuju karena takut jadi masalah. Langkah belum dimulai, tujuan belum tercapai, bayangan keraguan dan ketakyakinan sudah muncul duluan.Takut dengan agamanya sendiri.
“Kuntum khaira ummah” (kamu umat yang terbaik) itu pun tidak jadi kenyataan, tidak tampak dalam realitas. Allah menurunkan agama-Nya yang mutlak benar, pedoman hidup yang pasti menyelamatkan dan tak ada keraguan, tapi dilemahkan oleh penganutnya sendiri. Akibatnya, pemeluk agama agung itu selalu kalah, dikalahkan dan dihinakan pihak lain. Sebabnya, tanpa sadar, banyak sekali orang Islam mengidap rasa takut dengan agamanya sendiri.
Ketakutan itu bahkan dari para pelaku dakwah dan yang merasa komitmen dengan Islam ketika mereka tak berani menyampaikan ajaran Islam apa adanya, menghindari ketegasan bahkan menyembunyikan kebenaran bila dihadapan yang memiliki kekuasaan. Yang menghidupkan, menjamin rezeki, mematikan dan akan meminta pertanggungjawaban adalah Tuhan tapi takutnya pada manusia. Tentu saja, mungkin ini tak diakui, mulut dan pikiran menolak, tidak merasa begitu. Ya, karena itu semua di bawah sadar.
Inilah fenomena umat sekarang. Prinsip-prinsip keunggulan pun seperti khaira ummah, Islam ya’lu walā yu’la alaih, li-yadzhirahu ‘aladdīni kullihi, isy-karīman awmut syahīdan dan rahmatan lil ‘ālamin dll hanya sebatas kebanggaan, dijadikan slogan dan dituliskan, tapi bukan kenyataan. Wallāhu a’lam.***
Moeflich Hasbullah, Dosen Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung.