AHMAD SAHIDIN, penulis buku Tanda-Tanda Kiamat Mendekat.
SUNANGUNUNGDJATI.COM — Aspek yang terpenting dalam sebuah agama adalah keyakinan atau keimanan. Dalam bahasa agama di sebut akidah, ushuluddin, atau teologi. Jika diulas secara bahasa, makna sama: berkaitan dengan ketuhanan, dasar-dasar keimanan atau keyakinan yang harus dipegang seorang pemeluk agama. Setiap agama yang ada di dunia ini memiliki prinsip-prinsip dasar keyakinannya tersendiri, termasuk Islam.
Dalam khazanah teologi Islam, kita menemukan beragam penafsiran dan rumusan teologi dari masing-masing aliran yang muncul setelah tahkim antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Misalnya Ahlu Sunah (Sunni), Syiah, Khawarij, Murjiah, Jabariyah, Qadariyah, dan lainnya, yang secara rumusan teologi (akidah) berbeda satu sama lain. Namun, prinsip teologi tersebut jika dilacak dari masing-masing mazhab ternyata lahir dari pemikiran para ulama.
Saya yakin bahwa dalam mengemukakan pendapatnya mereka tidak lepas pada sumber-sumber agama. Pemahaman mereka terhadap nash yang diakui sebagai kebenaran kemudian menjadi prinsip dasar teologi masing-masing aliran. Pemahamannya itu tidak hanya membentuk aliran teologi tersendiri, tetapi juga berubah menjadi agama baru, seperti Ahmadiyah, Babiyah, Bahai`yah, dan lainya.
Memang sampai saat ini setiap mazhab atau organisasi Islam mengaku paling benar dan tidak sedikit yang menyatakan bahwa yang berbeda dengannya sebagai sesat sehingga mereka mencoba meluruskannya. Yang dianggap sesat tidak mau menerima begitu saja pernyataan tersebut. Mereka lantas terlibat dalam pertentangan (yang dalam dalam sejarah sampai saling menumpahkan darah). Tafsir teologi Islam yang saling hujat dan ‘klaim’ paling benar inilah yang perlu dikritisi kemudian digagas yang baru, atau mencari titik temu di antara konsep dan aliran teologi Islam. Dengan harapan, dari sana bisa terwujud dan tampak adanya teologi Islam non-sektarian.
Untuk mewujudkan teologi Islam non-sektarian harus diawali dengan merumuskan definisi “non-sekterian” kemudian dicari “hal-hal” apa saja yang tidak sekterian dalam Islam. Jika melihat istilahnya, “non-sektarian” bisa diartikan suatu ajaran atau konsep keyakinan yang bersifat universal alias bisa diterima semua mazhab atau sekte-sekte yang terdapat dalam Islam. Atau juga sesuatu yang memiliki kesamaan di antara semua mazhab teologi atau aliran Islam yang terdahulu maupun yang sedang berkembang. Pendeknya, suatu landasan keyakinan atau dasar-dasar iman yang bisa diterima semua mazhab dan sekte (aliran-aliran) Islam.
Dalam hal ini, yang pertama—dan pasti semua umat Islam meyakini—adalah tauhid atau pengakuan kepada Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa (monoteisme); kedua adalah nubuwwah atau meyakini Muhammad bin Abdullah sebagai Rasul Allah terakhir; dan ketiga adalah al-ma`ad atau meyakini adanya hari kebangkitan (akhirat).
Saya yakin semua umat Islam di dunia akan meyakini dan mengimani ketiganya, serta tidak mempertentangkannya. Pertentangan akan muncul pada tafsir atas ketiganya.
Bagaimana menyikapinya? Yakini dan akui saja bahwa mereka yang berbeda dalam menafsirkan ketiganya masih Muslim. Karena itu, dalam kehidupan sehari-hari, dalam upaya terwujudnya ukhuwah yang ditonjolkan hanyalah tiga keyakinan tadi.
Bukankah Muslim-Muslimah shalat menghadap kiblat? Bukankah haji ke baitullah? Bukankah puasa dan zakat adalah kewajiban umat Islam? Semua umat Islam mengakui bahwa berbuat baik terhadap sesama manusia merupakan kewajiban.
Kesamaan dan hal-hal yang universal bisa menjadi landasan dari lahirnya Islam yang tidak sekterian. Apalagi masyarakat Indonesia yang multi budaya, etnis, dan multi partai politik serta organisasi agama, tentu harus direalisasikan.
Bisakah terwujud? Hanya Allah selaku pemilik kebenaran sejati yang mengetahuinya. “Katakanlah, ’Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.” (QS Saba’ [34]: 24-26)