Ahmad Sahidin, alumni jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung
SUNANGUNUNGDJATI.COM
“KITA saling panggil apa ya?” tanya istri saya waktu awal nikah. Saya jawab, “Anti panggil Aa saja dan Aa memanggil Neng ke Anti.”
Istri pun mengangguk. Panggilan Aa dan Neng terus melekat hingga usia satu tahun menikah. Memasuki awal tahun kedua pernikahan, saya dan istri sempat bersilaturahim kepada teman saya di kampus UIN Sunan Gunung Djati. Teman saya itu baru menikah dan memanggil istrinya dengan panggilan ‘Bunda’ dan istrinya memanggilnya ‘Ayah’.
“Wah, belum punya bayi tapi panggilannnya udah gitu,” celetuk istri. Saya tersenyum. Sepulang dari teman saya dan istri kembali membincangkan soal panggilan. Dari perbincangan itu muncul ide untuk mengganti panggilan kita berdua. Istri saya bilang kita harus beda dengan yang ada dalam keluarga kita.
“Panggilan ayah dan ibu, mamah dan bapak, ummi dan abi, kan sudah oleh kakak kita. Jadi, apa?”
“Sudah saja kita pakai panggilan di Sunda: Abah dan Ambu.”
“Seperti panggilan mertua Kabayan.”
“Hehehe… bukan. Kata ‘Abah’ sangat dekat dengan istilah ‘Abu’ dalam bahasa Arab. Orang-orang Arab, biasanya memanggil ayah dengan ‘Aba’. Nah, orang-orang pesantren dulu, di tanah Sunda dan Batavia menggunakan pangilan itu menjadi Abah. Sedangkan Ambu berasal dari Ummu. Karena lidah orang Sunda sangat sulit bilang Ummu dan tidak enak dalam mengucapkan. Enknya bilang Ambu untuk menyebut ibu.”
“Benarkah?” tanya istri.
“Kalau kita baca sejarah bahwa istilah tersebut muncul dari proses Islamisasi ke Nusantara, khususnya di Sunda. Sejarawan Azyumardi Azra pernah menerangkan bahwa bahasa Melayu dan Indonesia banyak dipengaruhi bahasa Arab dan Persia. Misalnya, kata ‘kursi’ berasal dari bahasa Arab. Fenomena ini disebut ‘islamicate’– istilah Marshall G.S.Hodgson– untuk menyebutkan budaya yang bercorak Islam. Jadi, Abah dan Ambu atau Abi dan Ummi juga bercorak Islam. Keduanya berasal dari satu akar.”
“Jadi, panggil Abah-Ambu?” tanya istri.
“Ya.”
Lalu, kami pun saling memanggil dengan panggilan itu.
Pengaruh Bahasa Arab dalam Kehidupan Sosial Keagamaan di Indonesia
Ada dua orang yang menulis tugas akhirnya tentang pengaruh bahasa asing terhadap Bahasa Indonesia. Namanya Hanifullah Syukri dan Anas Sasmita yang menyelesaikan pendidikan master di Program Pascasarjana UI dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang keduanya tentang pengaruh bahasa Arab dalam kehidupan sosial keagamaan di Indonesia.
Dari hasil penelitiannya itu, Sasmita menyimpulkan bahwa bahasa Arab merupakan alat komunikasi masyarakat baik kepada sesamanya maupun kepada Tuhan. Ia menemukan sedikitnya 850 kata yang berasal dari bahasa Arab dan tidak kurang dari 184 kata yang menjadi kata serapan dalam bahasa Indonesia. Dari sejumlah itu, kata yang dipergunakan dalam kontek syiar Islam atau dakwah Islam tidak kurang dari 793 kata. Karena itu, bahasa Arab mempunyai sumbangan yang besar nilainya dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia.
Syukri dalam tesisnya menyimpulkan, orang Arab ketika datang menjadi penyebar agama dengan jalur perdagangan banyak menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Mereka beranggapan dengan begitu mereka lebih mudah berkomunikasi dengan orang lain. Mereka juga tidak berkeberatan bahasa mereka diadaptasi menjadi bahasa setempat. Ini terbukti pada kata sekaten yang diambil dari kata dalam bahasa Arab syahadatain. Kata sekaten kini menjadi bahasa umum di Yogyakarta.
Pengaruh bahasa Arab dan Islam sangat kentara juga pada khazanah kebudayaan dan bahasa Sunda. Bahasa Sunda yang pada masa awalnya dipengaruhi struktur bahasa Sansekerta dari India. Khazanah bahasa Sunda bertambah setelah masyarakat Sunda menganut agama Islam dan menegakkan kekuasaannya di Cirebon dan Banten sejak akhir abad ke-16 Masehi. Beberapa kosakata bahasa Arab yang masuk dalam perbendaharaan bahasa Sunda seperti duniya, niyat, selam (Islam), tinja (istinja), masigit, salat, abdi, korsi, dan sebagainya. Begitu pun dalam tradisi menulis atau huruf (aksara) yang digunakan dalam menulis oleh masyarakat terdahulu menggunakan aksara Arab pegon.
Kemudian seiring dengan berkembangnya masyarakat dan perebutan kekuasaan antar kerajaan serta masuknya kolonialisme asing, penggunaan aksara dalam menulis dan idom-idiom berubah atau menyesuaikan dengan keadaan zaman.
Nah, berbagai istilah yang disebutkan di atas, termasuk Abah Ambu dapat disebut bentuk pengayaan bahasa. Karena itu, tidak mengapa jika masyarakat Indonesia memilih istilah Abah Ambu atau Ummi-Abi karena itu menambah khazanah bahasa Indonesia.