Moeflich Hasbullah Dosen Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
SUNANGUNUNGDJATI.COM
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Suara-suara aspirasi politik kritis dan aspirasi keislaman itu tak selalu harus dipenuhi oleh pemerintah, negara atau kekuasaan, tapi berikan rakyat dan umat kenyamanan bersuara. Tak dicurigai atau dimusuhi. Itu sudah cukup karena rakyat adalah pemilik negeri ini.
Soal terwujud tidaknya sebuah aspirasi, akan berhadapan realitas dan berbagai banyak kemungkinan situasi, tapi kenyamanan bersuara sudah memberikan kenyamanan umat berwarga negara.
Ketika sebuah ide, pikiran kritis atau aspirasi keislaman, seradikal apapun, mentok, tapi lewat sebuah dialog yang terbuka, enak dan nyaman, tak terpenuhi pun rakyat dan umat akan menerimanya dengan sadar, rasa kepemilikan pada bangsa dan negara akan tetap kuat, dan tak akan ada kebencian atau antipati kepada pemerintah. Rakyat dan umat akan merasakan “feet at home” di negaranya sendiri.
Kalau suara-suara itu selalu dicurigai, dibenci dan dimusuhi, hasilnya adalah kebencian masing-masing, kegaduhan, konflik pemerintah-rakyat, negara tak mau mendengar suara rakyatnya sebagai pemilik kedaulatan tertinggi, konflik antar warga negara, dan pihak-pihak yang ingin membuat Indonesia lemah mereka memanfaatkannya untuk devide et impera, adu domba.
“Apakah kamu tak mau mengambil pelajaran dari orang-orang yang dikuasai hawa nafsunya untuk saling menguasai kemudian mereka sendiri hancur oleh rasa saling membenci dan konflik bahkan peperangan diantara mereka sendiri, yang mereka tak merasakan apapun kecuali kerugian dirinya yang akhirnya mereka sesali”? (Bukayat Tasabsari).***